ISLAM DAN
KRISIS MODERNITAS
Oleh : Dr. Muhammad Noupal M.Ag
Dosen IAIN
Palembang
KRISIS
modernitas atau krisis pada masa modern dapat kita maknakan dengan segala macam
persoalan yang terjadi dalam masyarakat (khususnya Islam) berkaitan dengan
kehidupan mereka di zaman modern. Krisis modern dengan demikian berhubungan
dengan segala aspek kehidupan; dan karena itu bersifat praktis.
Masalah
ini perlu kita bahas terutama karena sampai saat ini umat Islam sepertinya
tidak menyadari bahwa mereka sedang berada pada masa kritis. Bahkan mereka juga
tidak tahu bahwa krisis itu sudah sampai pada titik yang berbahaya. Oleh karena
itu, dengan mengetahui dan memahami hakikat persoalan ini, kita nantinya bisa
mengambil tindakan nyata untuk kemudian menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Ada
baiknya kita melihat krisis apa saja yang terjadi pada masyarakat kita. Dalam
pandangan saya, setidaknya ada tiga krisis; intelektual, kultural dan moral.
Sekalipun mungkin akan ada krisis-krisis lain, tapi ketiga krisis ini saya anggap
mampu mewakili untuk kita kemukakan.
Pertama, krisis intelektual. Saya mengartikan krisis ini sebagai krisis
pandangan ilmiah; atau istilahnya krisis paradigma. Krisis paradigma terjadi
sejak seseorang melihat sesuatu dengan tidak objektif atau proporsional. Krisis
paradigma menyebabkan analisis yang tidak seimbang. Ia cenderung mengikuti
tipologi yang sudah ada dalam pemikiran.
Krisis
intelektual atau krisis paradigma dapat kita temukan dalam bentuknya yang nyata
melalui dis-orientasi konsep kependidikan. Sejak awal tanpa kita sadari, kita
sudah diberikan pandangan yang salah tentang makna pendidikan. Bahwa pendidikan
agama atau pendidikan spiritual lebih tidak menjanjikan di banding pendidikan
umum, sudah diajarkan kepada anak-anak kita sejak ia mulai mau sekolah.
Dis-orientasi
kependidikan inilah yang akhirnya menjadikan sekulerisasi dalam dunia
pendidikan kita. Ujung-ujungnya, agama dan juga ilmu agama menjadi
terpinggirkan dan termarjinalkan dalam lingkup pendidikan dan kependidikan
kita. Bahkan, pada kenyataan yang sering kita lihat, perilaku agama juga mulai
terpinggirkan oleh perilaku dunia.
Kedua, krisis sosio-kultural. Ada tiga bentuk dalam krisis ini; dimulai
dari individualisme yang kemudian mengarah kepada materialisme dan akhirnya
berujung kepada hedonisme.
Individualisme
terjadi dan menjadi akibat dari semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat.
Kompleksitas juga menjadi resiko ketika persaingan untuk memenuhi suatu
kebutuhan terjadi dalam semua lapangan. Imbasnya, ketika suatu kebutuhan demi
kebutuhan harus bisa terpenuhi, maka lahirlah pola pikir dan aksi untuk terus mendapatkan
kebutuhan tersebut (materialisme). Disinilah krisis sosial dan kultural
kemudian menjadi terbukti ketika lahir sikap hedonis dalam diri masyarakat.
Krisis sosio-kultural seperti ini mungkin mulai mengakar dalam dunia modern
kita, khususnya umat Islam.
Ketiga; Krisis religiositas dan moral; ini terjadi dalam dua lingkup;
religiusitas yang mulai berkurang dan dekadensi moral. Dalam lingkup pertama,
kita tidak lagi menemukan semangat untuk melakukan sesuatu yang kita sebut
motif atau niat keagamaan dalam perilaku keseharian kita. Semua yang kita
kerjakan mungkin lebih bermotif kebutuhan; ketimbang kemanusiaan dan ketuhanan.
Bahwa niat ikhlas beramal kita juga mulai berkurang dan malah berubah dalam
motif dan tujuan kita.
Agak
susah memang untuk memastikan religiusitas yang berkurang dalam perilaku
masyarakat kita. Tapi kita bisa menemukan kenyataannya dalam keseharian
komunikasi dan tradisi pengajaran keluarga yang sangat jarang menyinggung
konsep “janji” Tuhan. Bahwa cerita surga yang tidak diwartakan kepada anak anak
kita dan karena itu juga tidak pernah mewujud dalam komunikasi keluarga saat
ini, juga tidak pernah kita lakukan. Akibatnya, anak-anak saat ini tidak lagi
membawa konsep agama dalam pergaulan mereka.
Dalam
lingkup kedua, yang mungkin disebabkan dari lingkup pertama, dekadensi moral
parahnya menjadi semakin bertambah dalam banyak tempat. Seiring kemajuan dan
penggunaan teknologi, penyalahgunaan alat modern ini juga menjadi factor yang
menunjang munculnya dekadensi moral. Tanpa kita sadari, kenyataan ini juga
mulai masuk dalam genggaman kita sehari-hari; lahiriyah dan batiniyah.
Peran Agama
Agama
mungkin bisa menawarkan jalan keluar dari krisis modern ini. Sebab, selain
memberikan peningkatan spiritual serta perbaikan moral dan mental kepada kita, agama
juga mampu menyediakan “tehnik” psikoterapis yang berguna untuk mengatasi
krisis modern masyarakat kita.
Sebagai
pengalaman esoterik (batiniyah), agama tidak hanya memperhatikan cara
kita beribadah, tetapi juga bagaimana sikap kita dalam beribadah. Bahkan, agama
bukan hanya dapat kita lihat sebagai ilmu moral (akhlak) yang mengembangkan
etika kemanusiaan, lebih dari itu agama mampu menyajikan metode psikoterapis untuk
kebahagiaan jiwa manusia.
Dalam kaitan dengan krisis modern, terutama yang terjadi di sekitar
kita, rasanya peran agama semakin kita perlukan. Kita bisa memastikan bahwa
dari sisi moral, agama dapat membantu mengatasi dekadensi moral. Dari sisi
intelektual, agama juga dapat mewarnai paradigma ketuhanan pendidikan kita. Bahkan
dari sisi sosio-kultural, agama mampu menjadi penyeimbang pola pikir dan aksi
manusia modern.
Karena itu, kita mungkin perlu membuat langkah konkrit bagaimana agama
bisa mengatasi krisis modernitas. Yang disebut dengan langkah konkrit
setidaknya sudah pernah atau bisa dilakukan. Atau paling tidak, ia terdiri dari
tehnik teruji dan terpercaya.
Karena itu, peran agama
dapat kita uraikan dalam tiga tahap; pertama, tahap intelektualisasi;
dengan pemahaman bahwa pada tahap ini agama perlu kita jadikan spirit dalam
intelektual kita. Kepercayaan bahwa hanya Allah yang memiliki intelektual
hakiki, dapat melahirkan sikap terpuji–yang tentu saja sesuai dengan tujuan
ilmu—berupa penghargaan kepada manusia dan alam. Imbasnya, dari intelektualisasi
ini kita bisa memiliki komitmen untuk mewujudkan pendidikan Islam yang
integral; yaitu pendidikan yang menggabungkan aspek duniawi dan ukrawi.
Kedua; tahap kulturisasi;
dengan pemahaman bahwa pada tahap ini agama perlu kita jadikan budaya spiritual
masyarakat kita. Sebagai pertimbangan defenitif, perlu kita maknakan bahwa
pembudayaan agama adalah suatu usaha untuk menjadikan agama sebagai budaya
masyarakat. Karena itu, secara praktis pembudayaan ini perlu diterapkan dalam
lingkungan masyarakat. Dari pembacaan al-Quran berjamaah [tadarus],
wirid, zikir dan tazkir [muhasabah] serta pertemuan ilmiah spiritual
[majelis taklim] perlu ditingkatkan menjadi budaya spiritual, bukan seremonial.
Hasilnya akan mampu membendung sikap induvidualistis, materialistic dan
hedonistic dalam masyarakat kita.
Ketiga, tahap moralisasi;
dengan pemahaman bahwa pada tahap ini moral adalah tujuan akhir dari dua tahap
sebelumnya. Menjadikan moral sebagai tujuan pokok dalam aspek kehidupan kita,
merupakan wujud dari tugas kenabian yang utama. Karena itu pula,
moralisasi pada tahap ini lebih utama
dilakukan melalui lembaga keluarga. Praktisnya, obrolan seputar pahala,
kenikmatan materi serta istana surga sebagai hasil perbuatan baik, perlu dilakukan
sejak dini kepada anak-anak kita. Dari sini, akan timbul pandangan atau
paradigma ketuhanan, baik melalui kecintaan [mahabbah], pengabdian [ibadah]
atau kenikmatan surga [nikmat]. Sebagai hasil tahap ini, mudah-mudahan dapat
membantu terciptanya semangat ketuhanan dalam aktifitas sehari-hari hingga
melahirkan sikap terpuji [akhlak mulia] bagi semua masyarakat.
Akhirnya, ada baiknya jika kita melihat bahwa krisis dunia modern
saat ini memang sudah menjadi ancaman serius terutama bagi keluarga kita dalam
usaha untuk menciptakan generasi muslim yang berintelektual, berbudaya
spiritual dan berakhlak mulia. Mudah-mudahan. []