Sabtu, 14 Juli 2012


ISLAM DAN KRISIS MODERNITAS
Oleh : Dr. Muhammad Noupal M.Ag
Dosen IAIN Palembang
KRISIS modernitas atau krisis pada masa modern dapat kita maknakan dengan segala macam persoalan yang terjadi dalam masyarakat (khususnya Islam) berkaitan dengan kehidupan mereka di zaman modern. Krisis modern dengan demikian berhubungan dengan segala aspek kehidupan; dan karena itu bersifat praktis.
Masalah ini perlu kita bahas terutama karena sampai saat ini umat Islam sepertinya tidak menyadari bahwa mereka sedang berada pada masa kritis. Bahkan mereka juga tidak tahu bahwa krisis itu sudah sampai pada titik yang berbahaya. Oleh karena itu, dengan mengetahui dan memahami hakikat persoalan ini, kita nantinya bisa mengambil tindakan nyata untuk kemudian menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Ada baiknya kita melihat krisis apa saja yang terjadi pada masyarakat kita. Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga krisis; intelektual, kultural dan moral. Sekalipun mungkin akan ada krisis-krisis lain, tapi ketiga krisis ini saya anggap mampu mewakili untuk kita kemukakan.
Pertama, krisis intelektual. Saya mengartikan krisis ini sebagai krisis pandangan ilmiah; atau istilahnya krisis paradigma. Krisis paradigma terjadi sejak seseorang melihat sesuatu dengan tidak objektif atau proporsional. Krisis paradigma menyebabkan analisis yang tidak seimbang. Ia cenderung mengikuti tipologi yang sudah ada dalam pemikiran.
Krisis intelektual atau krisis paradigma dapat kita temukan dalam bentuknya yang nyata melalui dis-orientasi konsep kependidikan. Sejak awal tanpa kita sadari, kita sudah diberikan pandangan yang salah tentang makna pendidikan. Bahwa pendidikan agama atau pendidikan spiritual lebih tidak menjanjikan di banding pendidikan umum, sudah diajarkan kepada anak-anak kita sejak ia mulai mau sekolah.
Dis-orientasi kependidikan inilah yang akhirnya menjadikan sekulerisasi dalam dunia pendidikan kita. Ujung-ujungnya, agama dan juga ilmu agama menjadi terpinggirkan dan termarjinalkan dalam lingkup pendidikan dan kependidikan kita. Bahkan, pada kenyataan yang sering kita lihat, perilaku agama juga mulai terpinggirkan oleh perilaku dunia.
Kedua, krisis sosio-kultural. Ada tiga bentuk dalam krisis ini; dimulai dari individualisme yang kemudian mengarah kepada materialisme dan akhirnya berujung kepada hedonisme.
Individualisme terjadi dan menjadi akibat dari semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat. Kompleksitas juga menjadi resiko ketika persaingan untuk memenuhi suatu kebutuhan terjadi dalam semua lapangan. Imbasnya, ketika suatu kebutuhan demi kebutuhan harus bisa terpenuhi, maka lahirlah pola pikir dan aksi untuk terus mendapatkan kebutuhan tersebut (materialisme). Disinilah krisis sosial dan kultural kemudian menjadi terbukti ketika lahir sikap hedonis dalam diri masyarakat. Krisis sosio-kultural seperti ini mungkin mulai mengakar dalam dunia modern kita, khususnya umat Islam.
Ketiga; Krisis religiositas dan moral; ini terjadi dalam dua lingkup; religiusitas yang mulai berkurang dan dekadensi moral. Dalam lingkup pertama, kita tidak lagi menemukan semangat untuk melakukan sesuatu yang kita sebut motif atau niat keagamaan dalam perilaku keseharian kita. Semua yang kita kerjakan mungkin lebih bermotif kebutuhan; ketimbang kemanusiaan dan ketuhanan. Bahwa niat ikhlas beramal kita juga mulai berkurang dan malah berubah dalam motif dan tujuan kita.
Agak susah memang untuk memastikan religiusitas yang berkurang dalam perilaku masyarakat kita. Tapi kita bisa menemukan kenyataannya dalam keseharian komunikasi dan tradisi pengajaran keluarga yang sangat jarang menyinggung konsep “janji” Tuhan. Bahwa cerita surga yang tidak diwartakan kepada anak anak kita dan karena itu juga tidak pernah mewujud dalam komunikasi keluarga saat ini, juga tidak pernah kita lakukan. Akibatnya, anak-anak saat ini tidak lagi membawa konsep agama dalam pergaulan mereka.
Dalam lingkup kedua, yang mungkin disebabkan dari lingkup pertama, dekadensi moral parahnya menjadi semakin bertambah dalam banyak tempat. Seiring kemajuan dan penggunaan teknologi, penyalahgunaan alat modern ini juga menjadi factor yang menunjang munculnya dekadensi moral. Tanpa kita sadari, kenyataan ini juga mulai masuk dalam genggaman kita sehari-hari; lahiriyah dan batiniyah.
Peran Agama
Agama mungkin bisa menawarkan jalan keluar dari krisis modern ini. Sebab, selain memberikan peningkatan spiritual serta perbaikan moral dan mental kepada kita, agama juga mampu menyediakan “tehnik” psikoterapis yang berguna untuk mengatasi krisis modern masyarakat kita.
Sebagai pengalaman esoterik (batiniyah), agama tidak hanya memperhatikan cara kita beribadah, tetapi juga bagaimana sikap kita dalam beribadah. Bahkan, agama bukan hanya dapat kita lihat sebagai ilmu moral (akhlak) yang mengembangkan etika kemanusiaan, lebih dari itu agama mampu menyajikan metode psikoterapis untuk kebahagiaan jiwa manusia.
Dalam kaitan dengan krisis modern, terutama yang terjadi di sekitar kita, rasanya peran agama semakin kita perlukan. Kita bisa memastikan bahwa dari sisi moral, agama dapat membantu mengatasi dekadensi moral. Dari sisi intelektual, agama juga dapat mewarnai paradigma ketuhanan pendidikan kita. Bahkan dari sisi sosio-kultural, agama mampu menjadi penyeimbang pola pikir dan aksi manusia modern.
Karena itu, kita mungkin perlu membuat langkah konkrit bagaimana agama bisa mengatasi krisis modernitas. Yang disebut dengan langkah konkrit setidaknya sudah pernah atau bisa dilakukan. Atau paling tidak, ia terdiri dari tehnik teruji dan terpercaya.
            Karena itu, peran agama dapat kita uraikan dalam tiga tahap; pertama, tahap intelektualisasi; dengan pemahaman bahwa pada tahap ini agama perlu kita jadikan spirit dalam intelektual kita. Kepercayaan bahwa hanya Allah yang memiliki intelektual hakiki, dapat melahirkan sikap terpuji–yang tentu saja sesuai dengan tujuan ilmu—berupa penghargaan kepada manusia dan alam. Imbasnya, dari intelektualisasi ini kita bisa memiliki komitmen untuk mewujudkan pendidikan Islam yang integral; yaitu pendidikan yang menggabungkan aspek duniawi dan ukrawi.
Kedua; tahap kulturisasi; dengan pemahaman bahwa pada tahap ini agama perlu kita jadikan budaya spiritual masyarakat kita. Sebagai pertimbangan defenitif, perlu kita maknakan bahwa pembudayaan agama adalah suatu usaha untuk menjadikan agama sebagai budaya masyarakat. Karena itu, secara praktis pembudayaan ini perlu diterapkan dalam lingkungan masyarakat. Dari pembacaan al-Quran berjamaah [tadarus], wirid, zikir dan tazkir [muhasabah] serta pertemuan ilmiah spiritual [majelis taklim] perlu ditingkatkan menjadi budaya spiritual, bukan seremonial. Hasilnya akan mampu membendung sikap induvidualistis, materialistic dan hedonistic dalam masyarakat kita.
Ketiga, tahap moralisasi; dengan pemahaman bahwa pada tahap ini moral adalah tujuan akhir dari dua tahap sebelumnya. Menjadikan moral sebagai tujuan pokok dalam aspek kehidupan kita, merupakan wujud dari tugas kenabian yang utama. Karena itu pula, moralisasi  pada tahap ini lebih utama dilakukan melalui lembaga keluarga. Praktisnya, obrolan seputar pahala, kenikmatan materi serta istana surga sebagai hasil perbuatan baik, perlu dilakukan sejak dini kepada anak-anak kita. Dari sini, akan timbul pandangan atau paradigma ketuhanan, baik melalui kecintaan [mahabbah], pengabdian [ibadah] atau kenikmatan surga [nikmat]. Sebagai hasil tahap ini, mudah-mudahan dapat membantu terciptanya semangat ketuhanan dalam aktifitas sehari-hari hingga melahirkan sikap terpuji [akhlak mulia] bagi semua masyarakat.
Akhirnya, ada baiknya jika kita melihat bahwa krisis dunia modern saat ini memang sudah menjadi ancaman serius terutama bagi keluarga kita dalam usaha untuk menciptakan generasi muslim yang berintelektual, berbudaya spiritual dan berakhlak mulia. Mudah-mudahan. []