Sabtu, 21 Juli 2012

puasa sangat khusus

Imam Al-Ghazali, dalam bukunya Asrār al-Shaum melihat puasa itu dalam tiga macam; puasa orang awam, puasa orang khusus, dan puasa orang sangat khusus. Antara ketiga bagian ini tentu saja saling berbeda. Puasa orang awam adalah puasa yang lebih kepada menahan makan dan minum. Sedangkan puasa orang khusus adalah puasa yang mampu menahan anggota badannya dari perbuatan dosa. Sedangkan puasa orang yang sangat khusus adalah puasa yang selain mampu menahan makan, minum, perbuatan dosa, tapi juga mampu menahan hati dan pikirannya dari sesuatu selain Allah.
Mekanisme puasa seperti ini jelas menyiratkan adanya fungsi keseimbangan jasmani-ruhani; jiwa dan raga. Orang yang berpuasa seharusnya mampu berada dan menjadi manusia yang seimbang dan harmonis. Dia tidak ditarik oleh sikap hedonistic dan materialistic kehidupan sehingga melupakan spiritualitas kepada Tuhannya. Dia juga tidak hanyut dalam kehidupan spiritual hingga akhirnya lalai dan terbengkalai dalam hidup dunianya.
Dimensi puasa seperti inilah yang pernah disinggung Nabi ketika ia mengatakan bahwa “Banyak orang yang berpuasa tidak mendapat balasan apa-apa kecuali lapar dan dahaga”. Menyinggung hadis ini, al-Ghazali kemudian mengomentari dengan mengatakan bahwa menurut petuah para ulama, “Ada orang yang berpuasa tapi seperti tidak puasa; dan ada orang yang tidak puasa tapi seperti orang yang berpuasa. Orang yang tidak puasa tapi seperti orang puasa adalah mereka yang selalu menjaga dan memelihara anggota badannya dari perbuatan dosa, serta selalu menjaga makan dan minumnya; dan orang yang berpuasa tapi seperti tidak berpuasa itu adalah orang yang selalu lapar, haus serta tidak mampu menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa” (al-Ghazali; Asrar al-Shaum; 51).

Jumat, 20 Juli 2012

hari pertama puasa

ini hari, ba'da subuh, aktivitas puasa kita lakukan dengan ngeblog. gak tahu manfaatnya apa...
tapi yang penting, ada niat untuk memperbaiki blog sendiri agar bisa dibaca orang. mudah-mudahan ada pahalanya.

Rabu, 18 Juli 2012

ribut awal puasa

MASALAH HILAL MENURUT HABIB USMAN BIN YAHYA
oleh : DR. Muhammad Noupal


Sekalipun Sayid Usman mengakui bahwa cara terbaik dalam menentukan permulaan bulan adalah dengan melihat langsung (ru`yah), tetapi ia tidak menolak perhitungan (hisâb) yang dilakukan oleh seseorang. Tetapi bagi Sayid Usman, “orang yang disebut hâsib adalah jika ia telah matang pelajarannya dan mujarrab (manjur) hisabnya sesuai dengan kedudukan bulan di manzilah-nya. Inilah yang disebut dengan hisâb yang qath’i (pasti). Hâsib sepert ini boleh berpuasa dengan hisâbnya. Jika hisâbnya mengatakan mustahil ru`yah, maka tertolaklah saksi-saksi yang adil yang mengaku telah melihat bulan”. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh menghitung permulaan bulan tanpa memiliki persyaratan keilmuan yang dibutuhkan. Hal ini dapat kita lihat dari masukan Sayid Usman kepada para hakim dan mufti, bahwa “itsbât yang benar adalah itsbât yang syarat-syaratnya terpenuhi; sebaliknya itsbât yang batal adalah yang syarat-syaratnya tidak dipenuhi.
Perbedaan dalam menentukan permulaan bulan puasa atau lebaran dalam suatu daerah juga sangat diperhatikan Sayid Usman. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa “jika hal itu disebabkan karena suatu daerah dapat melihat bulan tanpa ada yang menghalangi pandangannya, sedangkan daerah lain tidak dapat melihat bulan karena ada yang menghalanginya, maka kedua-duanya sah puasa dan lebarannya karena telah mengikuti aturan agama. Oleh karena itu kedua pihak satu sama lain tidak boleh saling menyalahkan atau saling menyuruh untuk ikut ke dalam pendapatnya.



Minggu, 15 Juli 2012

ziarah kubro


NILAI PENTING ZIARAH KUBRO
Oleh : DR. Muhammad Noupal
Dosen IAIN Palembang


Inti tulisan ini adalah untuk mengungkapkan nilai-nilai apa saja yang ada dalam ziarah kubro. Pertimbangannya didasari dari kenyataan bahwa selama ini, ziarah kubro di Palembang dengan ribuan peserta, tampak lebih bersifat seremonial; seperti sebuah kebiasaan. Tidak muncul nilai edukatif, historis dan kultural yang bisa diambil dalam ziarah ini. Sekalipun ada, mungkin hanya sebagian kecil—dan sangat  kecil—yang mampu dilihat oleh masyarakat peserta ziarah.
Ziarah kubro, seperti namanya adalah ziarah terbesar (kubro) yang dilakukan masyarakat Islam Palembang. Dimulai dengan cara mengunjungi (ziarah) kuburan para ulama dan habaib baik yang ada di Seberang Ulu atau Seberang Ilir, puncak acara dilakukan di pemakaman habaib Kambang Koci. Di sini, acara dilakukan dalam bentuk tahlil, doa-doa dan membaca maulud Nabi. Sebagai penutup, acara diisi dengan nasehat dan tausiyah kepada masyarakat.
Seperti namanya, ziarah kubro ini diikuti oleh ribuan peserta. Sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat Arab; baik dari dalam atau luar Palembang, seperti Lampung, Jambi, Jakarta, Bandung dan Surabaya. Tapi ada juga yang berasal dari negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand. Tentu saja mereka masih berhubungan atau paling tidak masih bisa dikaitkan dengan keturunan Arab Palembang. Jadi, peserta ziarah kubro memang sangat beragam. Suatu kebanggaan bagi masyarakat Palembang bisa mengadakan acara seperti ini.

Nilai Apa Saja ?
Sekalipun ziarah ini diikuti banyak peserta dan pasti menelan biaya yang sangat besar, tapi kita harus mampu memunculkan nilai-nilai dalam ritual ini. Hal ini penting agar pelaksanaan ziarah kubro, yang sejak awal bersifat dan bermotif spiritual, tidak menjadi seremonial belaka. Ukuran yang bisa dilihat tentu saja dari aspek pemahaman atau penghayatan; walaupun untuk ini perlu dibuktikan secara ilmiah. Tapi bukan itu maksud tulisan ini.
Tulisan ini setidaknya melihat ada tiga nilai yang bisa kita jadikan pokok soal; yaitu nilai edukatif, historis dan kultural. Ketiga nilai ini—setidaknya menurut penulis—sangat berkaitan dan saling terhubung. Akan sangat berarti jika peserta ziarah mampu melihat nilai-nilai ini dan meletakkannya di depan seremonial ziarah tadi.
Yang dimaksud dengan nilai edukatif tentu saja berkaitan dengan nilai kependidikan. Nilai ini bisa kita ambil khususnya dari konsep awal ziarah kubro yang mengedepankan penghormatan kepada leluhur. Sekalipun bentuk edukasi ini tidak “membumi” dan malah lebih bersifat “melangit”, penghormatan kepada para leluhur lebih diajarkan dalam bentuk doa dan tahlil.
Ziarah kubur memang disyariatkan agama. Nabi sendiri menyuruh kita berziarah sebagai pengingat bahwa di sinilah nanti kita akan kembali. Ziarah dengan demikian adalah sarana untuk mengingat Allah. Idealnya, orang yang berziarah harus sadar bahwa yang ia lakukan adalah untuk zikrullah, ingat Allah. Karena itu, setiap prosesi ziarah kubro harus dijiwai dengan zikir dan doa, bukan dengan obrolan dan cerita. Apalagi yang menjadi tujuan ziarah kubro adalah para ulama dan habaib yang menjadi “wasilah” kepada Allah.
Sisi positif nilai ini terletak pada adanya pemahaman bahwa atas jasa leluhurlah kehidupan keagamaan kita hari ini dapat terus terjaga. Balas jasa—kalau boleh disebut—dilakukan dengan cara mengirim doa. Harapan semoga mereka diampuni dosanya oleh Allah lebih mengemuka ketimbang mengingatkan kembali pesan suci mereka. Inilah pembelajaran akhlak yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan ziarah kubro, memang bernilai akhlak.
Nilai historis mungkin tepatnya kita artikan dengan nilai kesejarahan; bahwa melalui ziarah kubro kita bisa mengambil ibroh (pelajaran) dari apa yang sudah terjadi pada masa lalu. Nilai ini mengharuskan kita melihat kembali bagaimana para leluhur itu ada dan berada pada masanya. Bahkan, nilai ini juga mewajibkan kita untuk mampu memahami bagaimana kondisi umat saat itu. Untuk itu diperlukan eksplorasi sejarah dari berbagai aspek kehidupan mereka yang tercatat dan terangkum dalam sejarah.
Sayangnya nilai historis ini tidak akan terwujud jika dalam ziarah kubro kita tidak pernah mencoba untuk mengungkap sejarah para leluhur. Tapi bagaimana mungkin sejarah mereka akan bisa diungkap jika kita sendiri tidak tahu bagaimana sejarah hidup mereka. Apalagi ketersediaan informasi dan buku sejarah yang menjadi sumber penting tentang mereka, tidak pernah kita tahu dan kita baca.
Karena itu, kita melihat bahwa nilai historis ziarah kubro selama ini tidak atau lebih tepatnya jarang muncul ke permukaan. Paling banter, hanya sebatas mitos dan cerita lisan tentang kekeramatan dan kedigjayaan; yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan keotentikannya. Mungkin ke depan, diperlukan satu usaha untuk mengkaji dan mendiskusikan sejarah hidup para leluhur agar nilai edukatif dan historis ziarah kubro dapat lebih bermakna.
Selain nilai edukatif dan nilai historis, nilai kultural ziarah kubro juga perlu kita ungkap. Nilai kultural atau nilai budaya ini adalah nilai-nilai yang lahir dan menjadi bagian penting kehidupan masyarakat Islam secara luas. Nilai budaya tentu saja tidak hanya mewujud dalam “tradisi” yang lebih cenderung bersifat manusiawi. Tapi nilai budaya ziarah kubro seharusnya lebih mewujud dalam bentuk “pengalaman religius“; sebuah proses penghayatan akan nilai-nilai religiositas ziarah yang ada sejak awal sampai akhir acara. Inilah yang menjadi motif dan tujuan ziarah kubro.
Nilai kultural seperti ini idealnya menjadi pokok ziarah kubro. Bahwa ziarah kubro bukanlah ajang politik, proyek ekonomis bahkan kebanggaan genetik seharusnya menjiwai tahap demi tahap pelaksanaan ziarah. Untuk itu, pemahaman akan nilai-nilai yang ada dalam ziarah kubro bukan saja perlu dilakukan, tapi juga diajarkan kepada para peserta.
Untuk itulah proses kulturisasi ziarah kubro harus kita terjemahkan sebagai suatu proses pemahaman akan pentingnya ziarah kubro sebagai tradisi religius yang bermanfaat kepada masyarakat luas baik secara edukatif atau historis.
Pada akhirnya, nilai edukatif, historis dan kultural dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari nilai-nilai yang dapat kita tangkap. Akan ada banyak nilai lain yang seharusnya bisa kita lihat dan kembangkan. Karena itu, usaha untuk menggali dan mengeksplorasi nilai-nilai dalam ziarah kubro ini menjadi sangat penting dari sekedar menjadikannya “pawai budaya” dan “aset wisata”. Agar tercapai aspek spiritual ziarah kubro yang dicita-citakan.[]

Dr. Muhammad Noupal
Dosen IAIN Raden Fatah Palembang
Hp. 0858-4053-7123