MULTIKULTURALISME
DAN
UNIVERSALITAS AJARAN
ISLAM
Dari Budaya Rahmat ke Arah Dunia
Rahmat
Dr. Muhammad Noupal *[1]
Pendahuluan
SETIDAKNYA
ada dua tujuan pokok yang saya inginkan dari judul makalah ini; pertama,
saya ingin membandingkan bagaimana pokok soal yang ada dalam istilah ‘multikulturalisme’
dan hubungannya dengan ajaran Islam yang universal; dan kedua, saya sangat
ingin membawa akhir tulisan ini pada satu pemahaman umum yang saya anggap
penting karena menurut saya di situlah kata kunci dari seminar kita. Intinya,
saya ingin mengarahkan pemahaman bahwa kita sangat mendambakan suatu “dunia
rahmat”.
Untuk sampai pada tujuan tersebut, tentu
saja saya harus menjelaskan bagian-bagian penting seputar arti dan maksud dari multikulturalisme
dan univeralitas ajaran Islam. Hal ini menjadi perlu mengingat pemahaman kita
tentang dua kata kunci ini juga mungkin tidak sama, untuk tidak menyebutnya
berbeda. Tetapi karena fokus tulisan ini lebih untuk mengkaji bagaimana hubungan
antara keduanya, maka konsep-konsep teoritis seputar istilah
“multikulturalisme” itu sendiri tidak akan saya detailkan. Untuk memahaminya,
saya hanya akan menjelaskan sangat sedikit beberapa hal yang saya anggap
penting.
Sedikit Tentang Multikulturalisme
Penelusuran saya terhadap istilah ini
sampai pada satu kesimpulan bahwa multikulturalisme itu tidak lain adalah
menganggap segala sesuatu yang berbeda itu tidak perlu dibeda-bedakan; walaupun
juga tidak harus disama-samakan. Setiap orang, kelompok atau masyarakat tidak
harus melakukan pembedaan, baik dalam urusan agama, budaya dan asal-usulnya, dengan
agama, budaya dan asal-usul orang lain. Tapi pada saat yang sama juga, orang
tidak harus menyamakan urusan agamanya, budaya dan asal-usulnya dengan orang
lain.
Pemahaman ini saya ambil berdasarkan
konsep dasar multikulturalisme itu sendiri yang menitikberatkan kepada keragaman,
bukan keseragaman. Memang kajian istilah ini muncul karena kaitannya dengan
budaya (culture); dan karena itu pula, persoalan budaya (dengan segala
macam kaitannya) yang berkembang dalam masyarakat dengan sangat banyak (multi)
tidak perlu dipertentangkan. Pada intinya, konsep multikulturalisme yang berupa
pemikiran dan pandangan (isme) dapat melahirkan sikap multikultural.
Istilah terakhir ini saya fahamkan dengan sikap menghargai dan menghormati
budaya (dan agama) orang lain serta tidak menganggapnya lebih rendah dari
budaya kita.
Saya perlu memberikan beberapa contoh
defenisi istilah ini dari beberapa sumber yang saya dapatkan untuk membenarkan
pemahaman saya tadi.
Pertama,
mengantari buku Pendidikan Multikultural; Cultural Understanding Untuk
Demokrasi dan Keadilan, Amin Abdullah menyebutkan bahwa wacana
multikultural berupaya untuk memahami perbedaan yang ada pada manusia, serta
bagaimana agar perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak
menimbulkan tindakan diskriminatif sebagai buah dari pola perilaku dan sikap
hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka. Kedua,
Lawrence Blum, dikutip Lubis dalam Dekonstruksi Epistemologi Modern,
juga mengatakan bahwa multikulturalisme
adalah suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang,
serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Dan
ketiga, Supardi Suparlan dalam tulisannya Menuju Masyarakat Indonesia
yang Multikultural juga mengkaitkan multikulturalisme dengan sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
individual maupun secara kebudayaan.
Wacana
teoritis tentang multikulturalisme ini setidaknya berujung pada satu sikap yaitu
menghargai perbedaan budaya dan menganggapnya sederajat dengan budaya sendiri.
Singkatnya, multikulturalisme hendak menggiring pemahaman bahwa kita perlu
sikap saling menghargai—sebagai hasil dari pengetahuan dan sikap menerima—budaya
lain sehingga kita tidak merasa bahwa budaya kita lebih unggul atau lebih baik.
Dari sini juga multikulturalisme diharapkan mampu mewujudkan perdamaian,
keadilan dan persaudaraan sosial, anti konflik, kekerasan dan tindak diskriminatif.
Dari asas ini, para ahli selalu
mengkaitkan aspek praktis multikulturalisme dengan pendidikan multikultural.
Istilah terakhir ini selalu dikedepankan sebagai bukti bahwa multikulturalisme
tanpa pendidikan multikultural akan susah diterapkan. Dari sini juga diperlukan
suatu kurikulum plus pendekatan dan metode pendidikan yang bisa
disepakati agar pendidikan multikultrual bisa diterapkan. Kaitan dengan kasus
ini, Amin Abdullah melihat bahwa studi agama dengan pendekatan multidimensional
bisa menjadi salah satu alternatif dalam menerapkan pendidikan multikultural.
Pada akhirnya, persoalan
multikulturalisme membutuhkan sikap multikultural yang bisa diwujudkan dengan pendidikan
multikultural. Sederhananya, pendidikan multikultural mengarah kepada
pendidikan saling menghargai dan menghormati budaya, etnis dan agama yang ada
dalam masyarakat baik di tingkat local, nasional atau global. Selain menciptakan
kerukunan hidup beragama dan berbangsa, tujuan pendidikan ini juga diharapkan
mampu meredam sikap diskriminatif dan potensi konflik yang ada dalam masyarakat.
Multikulturalisme Dalam Beragama
Biasanya, kaitan agama dan faham
multikulturalisme selalu dialasi karena adanya konflik keagamaan. Konflik ini,
sekalipun sudah kita ketahui contohnya, dilakukan atas nama agama; walaupun
sebenarnya saya ingin mengatakannya atas nama Tuhan. Konflik yang terus menerus
terjadi ketika pemahaman keagamaan saling dipertentangkan, kadang berwujud
dalam bentuk tindakan anarkis dan radikal. Karena itu pula, agama (terutama
bagaimana peranan yang dijalankan para pemuka agama) diharapkan mampu meminimalisir
potensi-potensi konflik dengan mengedepankan pemahaman dan sikap multikultural.
Sikap multikultural dan pendidikan multikultural
karena itu menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam wilayah praksis agama.
Dari sini, kita memulainya dengan penyamaan konsep bahwa agama pada
hakikatnya berfungsi untuk memberikan kebaikan dan kedamaian, bukan keburukan
dan permusuhan. Dus, karena itu kita harus sepakat bahwa tindakan yang
mengarah kepada keburukan dan permusuhan, apapun tujuannya, sangat ditentang
agama. Pada poin ini, saya melihat bahwa semua agama mengajarkan nilai-nilai
positif kepada pemeluknya. Dalam hubungannya dengan sikap multikultural, pengajaran
nilai-nilai positif seperti inilah yang menjadi bagian penting untuk diterapkan
terutama melalui sistem pengajaran dan dakwah umat. Saya menyebutnya dengan
“dakwah positif”.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, dakwah
positif sangat perlu dikembangkan melalui penyuluhan/pengajaran agama atau
majelis taklim. Untuk meminimalisir konflik antar agama dan bahkan dalam satu
agama sekalipun, dakwah positif mengarahkan pemahaman manusia bahwa
mengajarkan kebaikan itu—sebagai langkah praktis sikap multikultural—ternyata
lebih bermanfaat dari pada mengajarkan permusuhan.
Berkaitan dengan tema seminar ini, saya
menyebut dakwah positif itu dengan nilai-nilai universal agama, yang
dapat kita spesifikasikan dalam nilai keadilan, perdamaian, ajakan berbuat
baik, kesetaraan, kejujuran dan sebagainya. Sederhananya, setiap agama (khususnya
Islam) mengedepankan nilai-nilai multikulturalisme bukan hanya dalam konsep
sosiologis tapi juga teologis. Bahwa melaksanakan keadilan, kejujuran atau perdamaian
bagi umat manusia adalah salah satu bentuk dari ibadah kepada Tuhan. Sekali
lagi, agama bukanlah halangan untuk menerapkan nilai-nilai multikulturalisme.
Bahkan setiap umat beragama tidak perlu merasa berat untuk mengusung dan mengembangkan
multikulturalisme baik secara teoritis maupun praktis di tengah-tengah masyarakat.
Multikulturalisme dan Universalitas
Ajaran Islam
Bagian terpenting dalam tulisan ini
akan saya usahakan dengan cara menjelaskan universalitas ajaran Islam seperti yang
dapat kita lihat dalam ranah konsep multikulturalisme. Islam, seperti yang saya
ketahui, memberikan pandangan positif tentang konsep ini sekaligus menyajikan
metodologinya seperti yang ada dalam al-Quran dan Hadis.
Universalitas ajaran Islam saya awali
dengan pemerian prinsip-prinsip teologis-sosial. Pertama, Islam
menawarkan suatu konsep masyarakat lintas negara, etnis dan kultur melalui kata
ummat. Istilah ini mengidentikkan suatu ikatan kebersamaan dalam
masyarakat yang ternyata mampu menghapus fanatisme suku (ashabiyah) dan
kelompok. Konsep ummat karena itu juga tidak berlaku untuk waktu dan
lokasi tertentu tetapi melintasi batas etnis, budaya, suku bangsa dan Negara. Al-Quran
sendiri menggunakan konsep ini dalam bentuknya yang praktis. Ajakan untuk mengajak
kebaikan (yad’una ilal khoir) dan memerintah dengan cara baik (ya`muruna
bil ma’ruf) yang selalu melekat dalam kata ummat (QS. Ali Imron;
104) menunjukkan sisi sosial konsep ini. Umat Islam, dimana saja dan kapan
saja, karena itu memiliki kewajiban sosial yang bersifat positif; yaitu mengajak
seluruh manusia berbuat baik dengan cara yang baik. Selanjutnya, kita boleh mengatakan bahwa
ajakan berbuat baik dengan cara yang baik itu bukan kewajiban umat Islam saja,
tapi kewajiban semua manusia. Kita bisa mengistilahkannya dengan “kewajiban
multikultural”.
Kedua,
dan mungkin ini bisa menjadi rujukan, tawaran Islam dalam konsep
multikulturalisme dapat kita buktikan dari semangat penghargaan kepada manusia berdasarkan
sifat dan nilai-nilai ketuhanan, bukan kemanusiaan. Setiap manusia yang paling
bertakwa, dan pasti secara praktis dibuktikan dengan penyerapan sifat dan nilai
ketuhanan, adalah manusia yang paling mulia. Penyerapan seperti inilah yang insya
Allah mampu menghilangkan sifat dan nilai kemanusiaan yang etnosentris dan
tribalis. Patut kita contohkan, dalam khutbah di Arafah, Nabi Muhammad menegaskan
bahwa tidak ada keutamaan yang dimiliki orang Arab atas non Arab, tidak juga
orang kulit putih atas hitam. Padahal seperti yang kita ketahui, Nabi sendiri adalah
orang Arab dan berkulit putih.
Ketiga,
tawaran terhadap prinsip keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (al-qisth),
diajukan Islam dalam kerangka yang jelas. Pelaksanaan bahkan keputusan yang berdasarkan
keadilan adalah perintah Tuhan dan karena itu bersifat wajib (fardhu). Tuhan
menyuruh manusia untuk berlaku adil dan menegaskan bahwa di dalamnya ada
nilai-nilai ketakwaan kepada Tuhan (QS. Al-Maidah; 8). Dalam kaitan dengan
sikap multikultural, berlaku adil terutama dalam aktifitas sosial di
tengah-tengah masyarakat (bahkan lintas agama dan budaya) merupakan wujud dari
ketakwaan umat Islam kepada Allah. Di sini kita melihat bahwa prinsip keadilan
sosial memiliki kerangka teologis. Kita bisa mencontohkan bagaimana Nabi
melarang pasukannya membunuh anak-anak dan para wanita dalam suatu peperangan.
Juga bagaimana Umar mengembalikan tanah milik orang Yahudi yang pernah diambil
oleh salah seorang penguasa daerah. Berlaku adil karena itu merupakan salah
satu ciri ketakwaan kepada Tuhan.
Keempat;
prinsip toleransi sesama manusia yang menjadi acuan utama dari sikap multikultural,
juga disaranai Islam dalam konsep dan metode yang jelas. Dari sudut agama, kita
bisa melihat bahwa Islam sangat menghormati keberadaan agama lain dan hak-hak manusia
untuk beragama. Al-Quran melarang pemaksaan agama (la ikraha fid-din);
setiap dakwah agama harus dilakukan dengan cara yang santun (hikmah/mau’izhoh-hasanah);
bahkan setiap pelaksanaan ibadah tidak boleh dicampurkan satu sama lain (lakum
dinukum wa liya din). Pandangan ini membuktikan bahwa—untuk ukuran saat
itu—asas toleransi beragama yang diberikan Islam lebih bersifat terbuka
(inklusif). Saya sendiri menyebutnya “etis” dengan alasan bahwa inilah salah satu
bentuk dari prinsip rahmatan lil alamin yang dibawa Islam.
Dari sudut budaya, prinsip toleransi
Islam juga dikedepankan dalam kerangka etika dan moral. Islam tidak mengekang
budi dan daya seseorang selagi tidak menyalahi etika agama. Islam mentolerir
setiap bentuk seni yang tidak mengarah kepada pemujaan setan. Islam juga
mentolerir penggunaan alat-alat kesenian selagi tidak melalaikan kewajiban kepada
Tuhan. Toleransi seperti ini, menurut saya, bertujuan untuk menempatkan
tindakan dan perilaku budaya manusia selalu berada dalam nilai ketuhanan;
yang sebenarnya dilawankan dengan nilai kesetanan yang menjadi musuh Tuhan.
Islam dengan sikap seperti ini prinsipnya tidak memandang kaku malah
memandang hormat semua budaya dan laku manusia.
Ada banyak hal yang tidak bisa
disebutkan satu persatu terkait bagaimana pandangan Islam dalam konsep multikulturalisme.
Dalam makalah ini, saya hanya perlu menegaskan bahwa Islam sangat menghargai
dan memuliakan budaya manusia. Pandangan positif (husnu zhon) terhadap
tingkah laku manusia bahkan menjadi landasan etika dan moral. Karena itu, dalam
hubungannya dengan sesama manusia (hablun minan-nas) Islam mengutamakan
sikap positif; bukan negatif. Saya menyebut sikap ini sebagai budaya rahmat.
Dari Budaya Rahmat Ke Arah Dunia
Rahmat
Arah yang sebenarnya saya tuju dalam
tulisan ini adalah dunia rahmat; dunia yang dilandasi sikap saling
menghargai antar sesama manusia khususnya dalam perbedaan urusan agama, budaya
dan etnis. Dunia rahmat karena itu adalah dunia yang ideal; dunia yang meletakkan
manusia dalam prinsip keadilan, kebersamaan dan keberagaman.
Islam, sebagai agama rahmat, tentu
tidak mengajak manusia berada dalam alam idea semata. Islam mengajarkan umatnya
untuk turun dan selalu berada di antara masyarakat. Ajakan “membumi” menjadikan
Islam sebagai agama yang peduli kepada manusia. Islam karena itu berusaha untuk
menciptakan suatu dunia yang dilandasi dengan sikap saling mengajak kepada
kebaikan dan menghindari perpecahan perselisihan (QS. Ali Imron; 104-5). Saya
menyebutnya sebagai ajakan untuk menciptakan dunia rahmat; dunia multikultural.
Dunia rahmat dengan begitu adalah
dunia global; dunia yang bisa diwujudkan oleh siapa saja dan di mana saja.
Dalam tawaran Islam, ajakan berbuat baik malah bisa dilakukan dengan menerapkan
etika sosial, kepada muslim atau non-muslim. Ali, sepupu Nabi, pernah mengantar
seorang Yahudi yang menjadi teman musafirnya ke luar melewati kota Madinah
tanpa memberitahukan bahwa ia sendiri tinggal di Madinah. Al-Ghazali, juga
pernah memperingatkan kita untuk tidak su’uzzhon kepada non-muslim,
karena bisa saja suatu saat mereka akan mendapatkan hidayah dan kita sendiri malah
menjadi kufur.
Di samping itu, menghindari
perselisihan dan pertikaian sesama manusia bisa diwujudkan dengan tidak saling
mengolok atau menghina praktek ibadah masing-masing. Di negara kita, perbedaan keyakinan
antara Islam dan non-Islam, atau perbedaan pemahaman antara kaum tradisional
dan modern, Sunni dan Syiah tidak perlu menjadi konflik horizontal. Pertikaian
seperti ini bisa kita hindari jika konsep li ta’arofu yang ada dalam
al-Quran kita fahami dalam bentuk saling mengkaji dan mempelajari. Dalam
batas pemahaman saya, konflik yang biasanya terjadi di akar rumput, disebabkan
karena pemahaman atau bahkan proses pemahaman akan perbedaan tidak berjalan maksimal.
Di sinilah perlunya peran serta pemuka agama yang seharusnya mampu mengambil
sikap seimbang (awsath) dan menyeimbangkan pemikiran masyarakat untuk
menghindari terjadinya konflik horizontal secara luas.
Ajakan berbuat baik dan ajakan untuk
menghindari pertikaian karena itu perlu kita terapkan dari sekarang. Dimulai
dari diri sendiri dengan cara memiliki prinsip rahmat; lalu membentuk diri
dengan sikap rahmat; yang kemudian bisa menjadi budaya rahmat, hingga insya
Allah mewujud dalam dunia rahmat. Mudah-mudahan.
Dr. Muhammad Noupal, MA
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden
Fatah Palembang
Alamat : Jl.
Punai II No. 62 Rt. 26 Kel. Duku - Palembang
Hp. 0858
4053 7123 / 0813 69 1956 69
[1]d[1]d Disampaikan
pada seminar
“Agama
Dan Multikulturalisme Dalam Kearifan Humanis”
Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam
IAIN
Raden Fatah Palembang, 27 September 2012