Sabtu, 06 Oktober 2012


MULTIKULTURALISME DAN
UNIVERSALITAS AJARAN ISLAM
Dari Budaya Rahmat ke Arah Dunia Rahmat

Dr. Muhammad Noupal *[1]

Pendahuluan

SETIDAKNYA ada dua tujuan pokok yang saya inginkan dari judul makalah ini; pertama, saya ingin membandingkan bagaimana pokok soal yang ada dalam istilah ‘multikulturalisme’ dan hubungannya dengan ajaran Islam yang universal; dan kedua, saya sangat ingin membawa akhir tulisan ini pada satu pemahaman umum yang saya anggap penting karena menurut saya di situlah kata kunci dari seminar kita. Intinya, saya ingin mengarahkan pemahaman bahwa kita sangat mendambakan suatu “dunia rahmat”.

Untuk sampai pada tujuan tersebut, tentu saja saya harus menjelaskan bagian-bagian penting seputar arti dan maksud dari multikulturalisme dan univeralitas ajaran Islam. Hal ini menjadi perlu mengingat pemahaman kita tentang dua kata kunci ini juga mungkin tidak sama, untuk tidak menyebutnya berbeda. Tetapi karena fokus tulisan ini lebih untuk mengkaji bagaimana hubungan antara keduanya, maka konsep-konsep teoritis seputar istilah “multikulturalisme” itu sendiri tidak akan saya detailkan. Untuk memahaminya, saya hanya akan menjelaskan sangat sedikit beberapa hal yang saya anggap penting.

Sedikit Tentang Multikulturalisme

Penelusuran saya terhadap istilah ini sampai pada satu kesimpulan bahwa multikulturalisme itu tidak lain adalah menganggap segala sesuatu yang berbeda itu tidak perlu dibeda-bedakan; walaupun juga tidak harus disama-samakan. Setiap orang, kelompok atau masyarakat tidak harus melakukan pembedaan, baik dalam urusan agama, budaya dan asal-usulnya, dengan agama, budaya dan asal-usul orang lain. Tapi pada saat yang sama juga, orang tidak harus menyamakan urusan agamanya, budaya dan asal-usulnya dengan orang lain.

Pemahaman ini saya ambil berdasarkan konsep dasar multikulturalisme itu sendiri yang menitikberatkan kepada keragaman, bukan keseragaman. Memang kajian istilah ini muncul karena kaitannya dengan budaya (culture); dan karena itu pula, persoalan budaya (dengan segala macam kaitannya) yang berkembang dalam masyarakat dengan sangat banyak (multi) tidak perlu dipertentangkan. Pada intinya, konsep multikulturalisme yang berupa pemikiran dan pandangan (isme) dapat melahirkan sikap multikultural. Istilah terakhir ini saya fahamkan dengan sikap menghargai dan menghormati budaya (dan agama) orang lain serta tidak menganggapnya lebih rendah dari budaya kita.

Saya perlu memberikan beberapa contoh defenisi istilah ini dari beberapa sumber yang saya dapatkan untuk membenarkan pemahaman saya tadi.

Pertama, mengantari buku Pendidikan Multikultural; Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Amin Abdullah menyebutkan bahwa wacana multikultural berupaya untuk memahami perbedaan yang ada pada manusia, serta bagaimana agar perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka. Kedua, Lawrence Blum, dikutip Lubis dalam Dekonstruksi Epistemologi Modern, juga mengatakan bahwa multikulturalisme adalah suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Dan ketiga, Supardi Suparlan dalam tulisannya Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural juga mengkaitkan multikulturalisme dengan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Wacana teoritis tentang multikulturalisme ini setidaknya berujung pada satu sikap yaitu menghargai perbedaan budaya dan menganggapnya sederajat dengan budaya sendiri. Singkatnya, multikulturalisme hendak menggiring pemahaman bahwa kita perlu sikap saling menghargai—sebagai hasil dari pengetahuan dan sikap menerima—budaya lain sehingga kita tidak merasa bahwa budaya kita lebih unggul atau lebih baik. Dari sini juga multikulturalisme diharapkan mampu mewujudkan perdamaian, keadilan dan persaudaraan sosial, anti konflik, kekerasan dan tindak diskriminatif.

Dari asas ini, para ahli selalu mengkaitkan aspek praktis multikulturalisme dengan pendidikan multikultural. Istilah terakhir ini selalu dikedepankan sebagai bukti bahwa multikulturalisme tanpa pendidikan multikultural akan susah diterapkan. Dari sini juga diperlukan suatu kurikulum plus pendekatan dan metode pendidikan yang bisa disepakati agar pendidikan multikultrual bisa diterapkan. Kaitan dengan kasus ini, Amin Abdullah melihat bahwa studi agama dengan pendekatan multidimensional bisa menjadi salah satu alternatif dalam menerapkan pendidikan multikultural.

Pada akhirnya, persoalan multikulturalisme membutuhkan sikap multikultural yang bisa diwujudkan dengan pendidikan multikultural. Sederhananya, pendidikan multikultural mengarah kepada pendidikan saling menghargai dan menghormati budaya, etnis dan agama yang ada dalam masyarakat baik di tingkat local, nasional atau global. Selain menciptakan kerukunan hidup beragama dan berbangsa, tujuan pendidikan ini juga diharapkan mampu meredam sikap diskriminatif dan potensi konflik yang ada dalam masyarakat.

Multikulturalisme Dalam Beragama

Biasanya, kaitan agama dan faham multikulturalisme selalu dialasi karena adanya konflik keagamaan. Konflik ini, sekalipun sudah kita ketahui contohnya, dilakukan atas nama agama; walaupun sebenarnya saya ingin mengatakannya atas nama Tuhan. Konflik yang terus menerus terjadi ketika pemahaman keagamaan saling dipertentangkan, kadang berwujud dalam bentuk tindakan anarkis dan radikal. Karena itu pula, agama (terutama bagaimana peranan yang dijalankan para pemuka agama) diharapkan mampu meminimalisir potensi-potensi konflik dengan mengedepankan pemahaman dan sikap multikultural.

Sikap multikultural dan pendidikan multikultural karena itu menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam wilayah praksis agama. Dari sini, kita memulainya dengan penyamaan konsep bahwa agama pada hakikatnya berfungsi untuk memberikan kebaikan dan kedamaian, bukan keburukan dan permusuhan. Dus, karena itu kita harus sepakat bahwa tindakan yang mengarah kepada keburukan dan permusuhan, apapun tujuannya, sangat ditentang agama. Pada poin ini, saya melihat bahwa semua agama mengajarkan nilai-nilai positif kepada pemeluknya. Dalam hubungannya dengan sikap multikultural, pengajaran nilai-nilai positif seperti inilah yang menjadi bagian penting untuk diterapkan terutama melalui sistem pengajaran dan dakwah umat. Saya menyebutnya dengan “dakwah positif”.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, dakwah positif sangat perlu dikembangkan melalui penyuluhan/pengajaran agama atau majelis taklim. Untuk meminimalisir konflik antar agama dan bahkan dalam satu agama sekalipun, dakwah positif mengarahkan pemahaman manusia bahwa mengajarkan kebaikan itu—sebagai langkah praktis sikap multikultural—ternyata lebih bermanfaat dari pada mengajarkan permusuhan.

Berkaitan dengan tema seminar ini, saya menyebut dakwah positif itu dengan nilai-nilai universal agama, yang dapat kita spesifikasikan dalam nilai keadilan, perdamaian, ajakan berbuat baik, kesetaraan, kejujuran dan sebagainya. Sederhananya, setiap agama (khususnya Islam) mengedepankan nilai-nilai multikulturalisme bukan hanya dalam konsep sosiologis tapi juga teologis. Bahwa melaksanakan keadilan, kejujuran atau perdamaian bagi umat manusia adalah salah satu bentuk dari ibadah kepada Tuhan. Sekali lagi, agama bukanlah halangan untuk menerapkan nilai-nilai multikulturalisme. Bahkan setiap umat beragama tidak perlu merasa berat untuk mengusung dan mengembangkan multikulturalisme baik secara teoritis maupun praktis di tengah-tengah masyarakat.

Multikulturalisme dan Universalitas Ajaran Islam

Bagian terpenting dalam tulisan ini akan saya usahakan dengan cara menjelaskan universalitas ajaran Islam seperti yang dapat kita lihat dalam ranah konsep multikulturalisme. Islam, seperti yang saya ketahui, memberikan pandangan positif tentang konsep ini sekaligus menyajikan metodologinya seperti yang ada dalam al-Quran dan Hadis.

Universalitas ajaran Islam saya awali dengan pemerian prinsip-prinsip teologis-sosial. Pertama, Islam menawarkan suatu konsep masyarakat lintas negara, etnis dan kultur melalui kata ummat. Istilah ini mengidentikkan suatu ikatan kebersamaan dalam masyarakat yang ternyata mampu menghapus fanatisme suku (ashabiyah) dan kelompok. Konsep ummat karena itu juga tidak berlaku untuk waktu dan lokasi tertentu tetapi melintasi batas etnis, budaya, suku bangsa dan Negara. Al-Quran sendiri menggunakan konsep ini dalam bentuknya yang praktis. Ajakan untuk mengajak kebaikan (yad’una ilal khoir) dan memerintah dengan cara baik (ya`muruna bil ma’ruf) yang selalu melekat dalam kata ummat (QS. Ali Imron; 104) menunjukkan sisi sosial konsep ini. Umat Islam, dimana saja dan kapan saja, karena itu memiliki kewajiban sosial yang bersifat positif; yaitu mengajak seluruh manusia berbuat baik dengan cara yang baik.  Selanjutnya, kita boleh mengatakan bahwa ajakan berbuat baik dengan cara yang baik itu bukan kewajiban umat Islam saja, tapi kewajiban semua manusia. Kita bisa mengistilahkannya dengan “kewajiban multikultural”.

Kedua, dan mungkin ini bisa menjadi rujukan, tawaran Islam dalam konsep multikulturalisme dapat kita buktikan dari semangat penghargaan kepada manusia berdasarkan sifat dan nilai-nilai ketuhanan, bukan kemanusiaan. Setiap manusia yang paling bertakwa, dan pasti secara praktis dibuktikan dengan penyerapan sifat dan nilai ketuhanan, adalah manusia yang paling mulia. Penyerapan seperti inilah yang insya Allah mampu menghilangkan sifat dan nilai kemanusiaan yang etnosentris dan tribalis. Patut kita contohkan, dalam khutbah di Arafah, Nabi Muhammad menegaskan bahwa tidak ada keutamaan yang dimiliki orang Arab atas non Arab, tidak juga orang kulit putih atas hitam. Padahal seperti yang kita ketahui, Nabi sendiri adalah orang Arab dan berkulit putih.

Ketiga, tawaran terhadap prinsip keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (al-qisth), diajukan Islam dalam kerangka yang jelas. Pelaksanaan bahkan keputusan yang berdasarkan keadilan adalah perintah Tuhan dan karena itu bersifat wajib (fardhu). Tuhan menyuruh manusia untuk berlaku adil dan menegaskan bahwa di dalamnya ada nilai-nilai ketakwaan kepada Tuhan (QS. Al-Maidah; 8). Dalam kaitan dengan sikap multikultural, berlaku adil terutama dalam aktifitas sosial di tengah-tengah masyarakat (bahkan lintas agama dan budaya) merupakan wujud dari ketakwaan umat Islam kepada Allah. Di sini kita melihat bahwa prinsip keadilan sosial memiliki kerangka teologis. Kita bisa mencontohkan bagaimana Nabi melarang pasukannya membunuh anak-anak dan para wanita dalam suatu peperangan. Juga bagaimana Umar mengembalikan tanah milik orang Yahudi yang pernah diambil oleh salah seorang penguasa daerah. Berlaku adil karena itu merupakan salah satu ciri ketakwaan kepada Tuhan.

Keempat; prinsip toleransi sesama manusia yang menjadi acuan utama dari sikap multikultural, juga disaranai Islam dalam konsep dan metode yang jelas. Dari sudut agama, kita bisa melihat bahwa Islam sangat menghormati keberadaan agama lain dan hak-hak manusia untuk beragama. Al-Quran melarang pemaksaan agama (la ikraha fid-din); setiap dakwah agama harus dilakukan dengan cara yang santun (hikmah/mau’izhoh-hasanah); bahkan setiap pelaksanaan ibadah tidak boleh dicampurkan satu sama lain (lakum dinukum wa liya din). Pandangan ini membuktikan bahwa—untuk ukuran saat itu—asas toleransi beragama yang diberikan Islam lebih bersifat terbuka (inklusif). Saya sendiri menyebutnya “etis” dengan alasan bahwa inilah salah satu bentuk dari prinsip rahmatan lil alamin yang dibawa Islam.

Dari sudut budaya, prinsip toleransi Islam juga dikedepankan dalam kerangka etika dan moral. Islam tidak mengekang budi dan daya seseorang selagi tidak menyalahi etika agama. Islam mentolerir setiap bentuk seni yang tidak mengarah kepada pemujaan setan. Islam juga mentolerir penggunaan alat-alat kesenian selagi tidak melalaikan kewajiban kepada Tuhan. Toleransi seperti ini, menurut saya, bertujuan untuk menempatkan tindakan dan perilaku budaya manusia selalu berada dalam nilai ketuhanan; yang sebenarnya dilawankan dengan nilai kesetanan yang menjadi musuh Tuhan. Islam dengan sikap seperti ini prinsipnya tidak memandang kaku malah memandang hormat semua budaya dan laku manusia.

Ada banyak hal yang tidak bisa disebutkan satu persatu terkait bagaimana pandangan Islam dalam konsep multikulturalisme. Dalam makalah ini, saya hanya perlu menegaskan bahwa Islam sangat menghargai dan memuliakan budaya manusia. Pandangan positif (husnu zhon) terhadap tingkah laku manusia bahkan menjadi landasan etika dan moral. Karena itu, dalam hubungannya dengan sesama manusia (hablun minan-nas) Islam mengutamakan sikap positif; bukan negatif. Saya menyebut sikap ini sebagai budaya rahmat.

Dari Budaya Rahmat Ke Arah Dunia Rahmat

Arah yang sebenarnya saya tuju dalam tulisan ini adalah dunia rahmat; dunia yang dilandasi sikap saling menghargai antar sesama manusia khususnya dalam perbedaan urusan agama, budaya dan etnis. Dunia rahmat karena itu adalah dunia yang ideal; dunia yang meletakkan manusia dalam prinsip keadilan, kebersamaan dan keberagaman.

Islam, sebagai agama rahmat, tentu tidak mengajak manusia berada dalam alam idea semata. Islam mengajarkan umatnya untuk turun dan selalu berada di antara masyarakat. Ajakan “membumi” menjadikan Islam sebagai agama yang peduli kepada manusia. Islam karena itu berusaha untuk menciptakan suatu dunia yang dilandasi dengan sikap saling mengajak kepada kebaikan dan menghindari perpecahan perselisihan (QS. Ali Imron; 104-5). Saya menyebutnya sebagai ajakan untuk menciptakan dunia rahmat; dunia multikultural.

Dunia rahmat dengan begitu adalah dunia global; dunia yang bisa diwujudkan oleh siapa saja dan di mana saja. Dalam tawaran Islam, ajakan berbuat baik malah bisa dilakukan dengan menerapkan etika sosial, kepada muslim atau non-muslim. Ali, sepupu Nabi, pernah mengantar seorang Yahudi yang menjadi teman musafirnya ke luar melewati kota Madinah tanpa memberitahukan bahwa ia sendiri tinggal di Madinah. Al-Ghazali, juga pernah memperingatkan kita untuk tidak su’uzzhon kepada non-muslim, karena bisa saja suatu saat mereka akan mendapatkan hidayah dan kita sendiri malah menjadi kufur.

Di samping itu, menghindari perselisihan dan pertikaian sesama manusia bisa diwujudkan dengan tidak saling mengolok atau menghina praktek ibadah masing-masing. Di negara kita, perbedaan keyakinan antara Islam dan non-Islam, atau perbedaan pemahaman antara kaum tradisional dan modern, Sunni dan Syiah tidak perlu menjadi konflik horizontal. Pertikaian seperti ini bisa kita hindari jika konsep li ta’arofu yang ada dalam al-Quran kita fahami dalam bentuk saling mengkaji dan mempelajari. Dalam batas pemahaman saya, konflik yang biasanya terjadi di akar rumput, disebabkan karena pemahaman atau bahkan proses pemahaman akan perbedaan tidak berjalan maksimal. Di sinilah perlunya peran serta pemuka agama yang seharusnya mampu mengambil sikap seimbang (awsath) dan menyeimbangkan pemikiran masyarakat untuk menghindari terjadinya konflik horizontal secara luas.

Ajakan berbuat baik dan ajakan untuk menghindari pertikaian karena itu perlu kita terapkan dari sekarang. Dimulai dari diri sendiri dengan cara memiliki prinsip rahmat; lalu membentuk diri dengan sikap rahmat; yang kemudian bisa menjadi budaya rahmat, hingga insya Allah mewujud dalam dunia rahmat. Mudah-mudahan.

Dr. Muhammad Noupal, MA
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang
Alamat : Jl. Punai II No. 62 Rt. 26 Kel. Duku - Palembang
Hp. 0858 4053 7123 / 0813 69 1956 69


[1]d[1]d Disampaikan pada seminar
“Agama Dan Multikulturalisme Dalam Kearifan Humanis”
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
IAIN Raden Fatah Palembang, 27 September 2012