ILMU
YAQIN & ILMU IMAN
Oleh
: KH. Ali Umar Thoyyib (w. 2008)
Sekalipun
banyak orang yang beriman kepada Allah, tetapi ada kalanya mereka masih kurang
yakin dengan ketentuan Allah. Orang yang miskin, sekalipun ia tahu bahwa ia
sedang mendapatkan ujian dari Allah, kadang hatinya masih saja tidak percaya
bahwa harta dan rezki itu adalah milik Allah. Ia tidak menghubungkan
kemiskinannya dengan kekuasaan dan kehendak Allah. Ia juga tidak mengambil
pelajaran dan hikmah. Baginya, kemiskinannya karena keadaan hidup yang memang
sulit. Ia menghubungkan kemiskinannya bukan kepada Allah.
Menghubungkan
segala sesuatu kepada Allah adalah inti daripada ilmu yakin; yaitu pengetahuan
yang membawa kepada keyakinan. Ilmu yakin bersifat teoritis. Sepanjang
pengetahuan manusia, sepanjang itulah keyakinannya. Jika manusia mengetahui
(mengenal) Allah, maka pastilah keyakinannya akan bertambah. Hanya saja manusia
saat ini banyak yang tidak mau lagi mengenal dan mengetahui Allah. Jadinya,
mereka banyak yang tidak yakin dengan “takdir” Allah.
Ilmu
yakin itu sendiri memiliki dua fungsi; pertama, menguatkan keimanan kita
kepada masalah-masalah yang ghaib (metafisik); kedua, membuat amal
ibadah kita menjadi lebih baik. Iman kepada yang gaib, termasuk di dalamnya
iman kepada malaikat, surga, neraka dan sebagainya, cenderung menipis karena
kesibukan dan kelalaian kita.
Orang
bisa saja kurang percaya dengan ancaman siksa kubur dikarenakan ilmu tentang
alam kubur tidak pernah ia pelajari. Orang juga bisa kurang percaya dengan
kenikmatan surga, sebab ia tidak pernah belajar bagaimana suatu amal dapat
membuat ia masuk dalam surga. Orang juga kadang tidak tahu bahwa amal ibadahnya
bisa ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Tetapi bagaimana caranya, orang
masih bingung. Ini disebabkan karena ia tidak belajar sehingga ia tidak yakin.
Ilmu
yakin, pada hakikatnya sama dengan ilmu iman. Orang yang yakin pastilah ia
beriman. Dan orang yang beriman, maka hasilnya adalah keyakinan. Untuk
mewujudkan yakin dan iman, maka kita perlu menggunakan dua hal, yaitu telinga
dan hati; dan melakukan dua metode yaitu i’tibar (mengambil pelajaran) dan
beramal sesuai dengan ketentuan Allah swt.
Telinga,
bisa kita gunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Dalam proses inilah kita
akan selalu terhubung dengan ketentuan Allah. Sedangkan hati dapat digunakan
untuk menyaksikan (musyahadah) kebesaran Allah.
Untuk
menggunakan hati dan telinga, kita juga harus mengetahui metodenya. Cara yang
paling utama adalah i’tibar (merenungi) kebesaran Allah. Cara ini
diperlukan untuk memberikan informasi bahwa segala sesuatu yang kita fahami
akan beakhir pada satu kesimpulan karena kekuasaan dan rahmat Allah. Sedangkan
metode beramal sesuai dengan ketentuan Allah akan menghasilkan suatu sikap
disiplin dan kepatuhan kepada Allah. Artinya, amal ibadah yang kita lakukan dan
sesuai dengan garis besar ketentuan Allah pasti membawa kepada keyakinan akan
janji Allah.
Dari
sinilah kita melihat bahwa keyakinan kita yang terbentuk melalui sebab dan
metode yang kita lakukan, insya Allah dapat membuahkan empat hasil,
yaitu; hati yang tenang (sakinah), hati yang tenggelam untuk Allah, hati
yang kembali kepada Allah dan hati yang selalu berharap ridha Allah.
Hasil
seperti inilah yang sesungguhnya menjadi bagian penting dari tingkatan
keyakinan (darojatul yaqin) manusia yang pernah diuraikan oleh Habib
Abdullah al-Haddad, yaitu :
1.
Derajat ashabul
yamin; yaitu orang-orang yang masuk dalam kategori ahli surga.
2.
Derajat al-‘Arifin
al-Muqarrabin; yaitu orang-orang yang ahli makrifat dan sangat dekat kepada
Allah.
3.
Derajat al-Anbiya`
dan Mursalin; yaitu para nabi dan rasul.
Hanya
saja, dari tingkatan keyakinan, di manakah kita berada ? Apakah kita masuk
dalam kategori kesatu, kedua ataukah ketiga ? Atau, apakah kita memang tidak
pernah masuk dalam tiga kategori ini mengingat hati kita tidak pernah tenang,
tidak pernah sibuk, tidak pernah terhubung dan tidak pernah berada dalam ridha
Allah ?
Untuk
itulah kita perlu mengutip perkataan Lukmanul Hakim, bahwa “Tidak akan kuat
(kita) beramal itu kecuali dengan keyakinan; dan tidak akan beramal seorang
manusia kecuali dengan kualitas keyakinannya”. Dengan demikian, untuk memiliki
ibadah yang berkualitas, maka kita harus memiliki keyakinan dan keimanan yang
berkualitas juga.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar