Minggu, 22 Juli 2012

ilmu yaqin dan ilmu iman


ILMU YAQIN & ILMU IMAN
Oleh : KH. Ali Umar Thoyyib (w. 2008)

Sekalipun banyak orang yang beriman kepada Allah, tetapi ada kalanya mereka masih kurang yakin dengan ketentuan Allah. Orang yang miskin, sekalipun ia tahu bahwa ia sedang mendapatkan ujian dari Allah, kadang hatinya masih saja tidak percaya bahwa harta dan rezki itu adalah milik Allah. Ia tidak menghubungkan kemiskinannya dengan kekuasaan dan kehendak Allah. Ia juga tidak mengambil pelajaran dan hikmah. Baginya, kemiskinannya karena keadaan hidup yang memang sulit. Ia menghubungkan kemiskinannya bukan kepada Allah.
Menghubungkan segala sesuatu kepada Allah adalah inti daripada ilmu yakin; yaitu pengetahuan yang membawa kepada keyakinan. Ilmu yakin bersifat teoritis. Sepanjang pengetahuan manusia, sepanjang itulah keyakinannya. Jika manusia mengetahui (mengenal) Allah, maka pastilah keyakinannya akan bertambah. Hanya saja manusia saat ini banyak yang tidak mau lagi mengenal dan mengetahui Allah. Jadinya, mereka banyak yang tidak yakin dengan “takdir” Allah.
Ilmu yakin itu sendiri memiliki dua fungsi; pertama, menguatkan keimanan kita kepada masalah-masalah yang ghaib (metafisik); kedua, membuat amal ibadah kita menjadi lebih baik. Iman kepada yang gaib, termasuk di dalamnya iman kepada malaikat, surga, neraka dan sebagainya, cenderung menipis karena kesibukan dan kelalaian kita.
Orang bisa saja kurang percaya dengan ancaman siksa kubur dikarenakan ilmu tentang alam kubur tidak pernah ia pelajari. Orang juga bisa kurang percaya dengan kenikmatan surga, sebab ia tidak pernah belajar bagaimana suatu amal dapat membuat ia masuk dalam surga. Orang juga kadang tidak tahu bahwa amal ibadahnya bisa ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Tetapi bagaimana caranya, orang masih bingung. Ini disebabkan karena ia tidak belajar sehingga ia tidak yakin.
Ilmu yakin, pada hakikatnya sama dengan ilmu iman. Orang yang yakin pastilah ia beriman. Dan orang yang beriman, maka hasilnya adalah keyakinan. Untuk mewujudkan yakin dan iman, maka kita perlu menggunakan dua hal, yaitu telinga dan hati; dan melakukan dua metode yaitu i’tibar (mengambil pelajaran) dan beramal sesuai dengan ketentuan Allah swt.
Telinga, bisa kita gunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Dalam proses inilah kita akan selalu terhubung dengan ketentuan Allah. Sedangkan hati dapat digunakan untuk menyaksikan (musyahadah) kebesaran Allah.
Untuk menggunakan hati dan telinga, kita juga harus mengetahui metodenya. Cara yang paling utama adalah i’tibar (merenungi) kebesaran Allah. Cara ini diperlukan untuk memberikan informasi bahwa segala sesuatu yang kita fahami akan beakhir pada satu kesimpulan karena kekuasaan dan rahmat Allah. Sedangkan metode beramal sesuai dengan ketentuan Allah akan menghasilkan suatu sikap disiplin dan kepatuhan kepada Allah. Artinya, amal ibadah yang kita lakukan dan sesuai dengan garis besar ketentuan Allah pasti membawa kepada keyakinan akan janji Allah.
Dari sinilah kita melihat bahwa keyakinan kita yang terbentuk melalui sebab dan metode yang kita lakukan, insya Allah dapat membuahkan empat hasil, yaitu; hati yang tenang (sakinah), hati yang tenggelam untuk Allah, hati yang kembali kepada Allah dan hati yang selalu berharap ridha Allah.
Hasil seperti inilah yang sesungguhnya menjadi bagian penting dari tingkatan keyakinan (darojatul yaqin) manusia yang pernah diuraikan oleh Habib Abdullah al-Haddad, yaitu :
1.     Derajat ashabul yamin; yaitu orang-orang yang masuk dalam kategori ahli surga.
2.     Derajat al-‘Arifin al-Muqarrabin; yaitu orang-orang yang ahli makrifat dan sangat dekat kepada Allah.
3.     Derajat al-Anbiya` dan Mursalin; yaitu para nabi dan rasul.

Hanya saja, dari tingkatan keyakinan, di manakah kita berada ? Apakah kita masuk dalam kategori kesatu, kedua ataukah ketiga ? Atau, apakah kita memang tidak pernah masuk dalam tiga kategori ini mengingat hati kita tidak pernah tenang, tidak pernah sibuk, tidak pernah terhubung dan tidak pernah berada dalam ridha Allah ?
Untuk itulah kita perlu mengutip perkataan Lukmanul Hakim, bahwa “Tidak akan kuat (kita) beramal itu kecuali dengan keyakinan; dan tidak akan beramal seorang manusia kecuali dengan kualitas keyakinannya”. Dengan demikian, untuk memiliki ibadah yang berkualitas, maka kita harus memiliki keyakinan dan keimanan yang berkualitas juga.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar