KH. ALI
UMAR THOYYIB (1952-2008)
Tidak ada yang menyangka bahwa nama ini
adalah tokoh penting dalam penyebarluasan Ratib al-Haddad di kota empek-empek, Palembang. Majelis Taklim
Al-Awwabin yang didirikannya pada tahun 1985 kini menjadi sentral pembacaan
Ratib al-Haddad. Setiap malam minggu dan malam ke 14 bulan Hijriyah, ratusan
kaum muslim dari berbagai penjuru kota Palembang, baik tua
ataupun muda mendatangi majelisnya untuk turut berzikir dan membaca Ratib
al-Haddad bersama-sama. Mereka sangat antusias dan semangat mengikuti tahap
demi tahap pembacaannya yang dimulai dari jam 8 sampai jam 11 malam. Di selingi
ceramah dan tausiyah oleh para ulama, acara pembacaan Ratib al-Haddad menjadi
lebih istimewa dan menarik. Inilah yang membuat Malam 14-an ini semakin lama semakin digemari masyarakat kota Palembang.
Berkah Susuan
KH.
Ali Umar Thoyyib dilahirkan di Palembang
pada tanggal 9 November 1952. Ayahnya, Umar bin Thoyyib dan ibunya Zainab binti
Abdullah Shodiq memberikan nama kepadanya dengan nama Muhammad Ali al-Mukarrom.
Ketika masih kecil, Ali menjadi saudara susuan kepada salah satu keluarga ‘Alawiyin bangsa al-Habsyi di pesantren al-Riyadh
dan keluarga Bin Syahab di kampung Muaro 10 Ilir Palembang. Sudah menjadi
tradisi, saat itu banyak kalangan pribumi yang ingin mendapatkan berkah dari
ikatan persaudaaraan mereka dengan keturunan Nabi. Ali kecil mendapatkan berkah
persaudaraan dengan keluarga habaib yang kemudian membuatnya memiliki hubungan
istimewa dengan seluruh kalangan Alawiyin kota Palembang.
Berkah Habib
K.H. Ali Umar Thoyyib
memulai pendidikan formalnya di Madrasah Al Khoiriyah 3 Ilir Palembang. Ia juga kemudian melanjutkan
pendidikannya ke Pendidikan
Guru Agama Negeri (PGAN) Palembang. Tahun 1970, ia
mulai menjalani pendidikan agamanya di Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah
Malang di bawah asuhan Habib ‘Abdullah Bin Abdul Qadir Bin Ahmad Bil Faqih. Dari habib Abdullah Bilaqih, ia
mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman spiritual. Salah satunya adalah
silsilah tarekat ‘Alawiyah yang bersambung langsung kepada Nabi Muhammad SAW.
Tahun
1975 Ali Umar Thoyyib kembali ke kota Palembang dan mulai mengajar di Pesantren al-Riyadh Palembang sampai tahun
1983. Di sinilah ia mulai mengajar dan mengembangkan ilmu yang diperolehnya
dari tanah Jawa. Di sini pulalah, bersama Habib Ahmad al-Habsyi, ia membimbing
para murid dan santrinya. Di antara nama-nama yang saat ini cukup akrab di
telinga kita adalah Habib Noufal bin Abdullah al-Kaf (Sukabumi), Habib Umar
Abdul Aziz bin Syahab (Palembang) dan Habib Naqib bin Muhamamd bin Syekh
Abubakar (Bekasi). Semuanya adalah pimpinan di pondok pesantrennya
masing-masing. Selain mereka, tentu saja ada banyak nama yang tidak bisa kita
sebutkan satu persatu. Mereka tersebar di seluruh wilayah Sumatera bahkan
sampai ke Malaysia
dan Tailan.
Tahun 1984, ia diberikan kepercayaan
untuk mengelola dan memimpin sebuah sekolah yang bernama Madrasah Diniyah
Awwaliyah Darul Muttaqin di bilangan 8 ilir Palembang. Di sekolah inilah, ratusan siswa
dan murid di kota Palembang mengenyam pendidikan keagamaan
darinya. Saat itu, Madrasah Diniyah Darul Muttaqien sudah mampu memberikan
pendidikan keagamaan yang setara dengan kurikulum pesantren. Tidak heran,
sekalipun banyak santri dan muridnya pada saat yang sama juga bersekolah di SD
ataupun SMP, tetapi mereka sangat antusias belajar ilmu-ilmu keislamanan
seperti nahwu-shorof, hadis, akidah-akhlak, dan sejarah Islam.
Pada tahun ini juga atas perintah Habib
Alwi bin Ahmad Bahsin Palembang, guru dan pembimbing spiritualnya, ia diserahi
tugas untuk berdakwah kepada masyarakat luas. Maka, untuk mewadahi dakwahnya di
tengah masyarakat itulah akhirnya dibuatlah Majelis Taklim Awwabien. Dari
sinilah ia mulai mengajak masyarakat untuk membaca Ratib al-Haddad.
Berguru Kepada Habaib
K.H Ali Umar Thoyyib selalu menyempatkan
diri untuk mengambil berkah kepada para habaib yang hidup di masanya. Tercatat
ada banyak habaib yang menjadi tempat ia berguru dan menimba ilmu, seperti
Habib Abdullah bilfaqih (Malang); Habib Alwi bin Ahmad Bahsin (Palembang); Habib Muhsin
Al-Atthas (Jakarta); Kyai Haji
Buya Yahya Azhari (Bandung); di sini ia mendapatkan khirqah dan silsilah tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah; dan Kiayi Bahri Bin
Pandak – Tanjung Atap,
Palembang.
Selain mereka, KH Ali Umar Thoyyib juga
sempat bertabarruk kepada para ulama seperti Habib Muhammad bin
Alwi Al-Maliki (Makkah); Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul); Habib Ahmad bin
Abdullah Al-Atthas; Habib Ali
bin Husin Al-Atthas dan Habib Luthfi
bin Yahya (Pekalongan).
Warisan tiga kitab
Dakwah yang ia
berikan kepada masyarakat tidak saja dilakukan di masjid, tapi juga di dalam
ruangan kelas di sekolah ia yang kelola. Paling tidak selama satu minggu, ia
tiga kali memberikan pelajaran keagamaan
kepada masyarakat. Ada tiga kitab yang ia pakai, yaitu Risalah al-Mu’awanah karangan habib Abdulah al-Haddad, Hidayat al-Salikin karangan Syekh Abdus
Shamad al-Falimbani dan Ihya Ulumuddin
karangan Imam al-Ghazali.
Dalam
memberikan penjabarannya kepada masyarakat, ia selalu menyampaikannya dengan
bahasa yang sederhana disertai tamsil dan ungkapan yang ringan. Ia juga tidak
segan mengkritik tingkah laku masyarakat dengan guyon dan gurauannya. Apalagi
ketika ia membuat rangkuman isi kitab kuning yang dipelajari dalam bentuk skema
atau bagan, membuat orang yang belajar kepadanya menjadi lebih faham dan
mengerti. Karena itulah, lambat laun pengajian malam nya dipenuhi oleh mereka
yang haus untuk menimba ilmu kepadanya
Rangkuman tiga
kitab itulah yang kemudian ia bukukan menjadi satu buku dalam Tuhfat al-Awwabin min kutubi al-salaf al-sholihin. Dengan memuat hampir 150 halaman,
rangkuman tiga kitab itu seolah menjadi satu-satunya warisan intelektual yang
sangat istimewa dari diri KH Ali Umar Thoyyib.
Menyebarkan
Doa
Salah satu
dakwah KH Ali Umar Thoyyib juga dilakukan dengan cara menyebarkan selebaran
doa. Biasanya doa-doa yang ia ambil dari kitab para ulama terdahulu itu bersisi
wirid dan zikir-zikir pilihan. Kadang ia juga menuliskan doa itu dengan bahasa
Indonesia untuk lebih mudah dibaca masyarakat. Ia sendiri yang membiayai foto
copy doa itu.
Dakwah sepert
ini ternyata sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dari mereka yang tidak pernah beramal,
kini menjadi muslim yang selalu menyiapkan waktunya untuk membaca zikir dan
wirid. Dalam satu harapannya, ia ingin masyarakat itu sadar akan pentingnya
beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan istiqomah. Dakwah inilah yang
seolah-olah menjadi amal jariah untuk KH. Ali Umar Toyyib. Setiap hari, surat al-Fatihah serta doa
yasin dan tahlil dibacakan oleh hampir semua murid dan pencintanya.
Ia meninggal
dan dikuburkan di pemakaman umum Kandang Kawat, Palembang. Ribuan orang menyemut turut
mengambil berkah terakhir. Ungkapan belasungkawa disampaikan oleh kerabat dan
kalangan pajabat. Kini, tidak ada lagi guru dan orang tua yang selalu mengayomi
dan menyayangi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar