Jumat, 27 Juli 2012

guruku



KH. ALI UMAR THOYYIB (1952-2008)



Tidak ada yang menyangka bahwa nama ini adalah tokoh penting dalam penyebarluasan Ratib al-Haddad di kota empek-empek, Palembang. Majelis Taklim Al-Awwabin yang didirikannya pada tahun 1985 kini menjadi sentral pembacaan Ratib al-Haddad. Setiap malam minggu dan malam ke 14 bulan Hijriyah, ratusan kaum muslim dari berbagai penjuru kota Palembang, baik tua ataupun muda mendatangi majelisnya untuk turut berzikir dan membaca Ratib al-Haddad bersama-sama. Mereka sangat antusias dan semangat mengikuti tahap demi tahap pembacaannya yang dimulai dari jam 8 sampai jam 11 malam. Di selingi ceramah dan tausiyah oleh para ulama, acara pembacaan Ratib al-Haddad menjadi lebih istimewa dan menarik. Inilah yang membuat Malam 14-an ini semakin lama semakin digemari masyarakat kota Palembang.

Berkah Susuan
KH. Ali Umar Thoyyib dilahirkan di Palembang pada tanggal 9 November 1952. Ayahnya, Umar bin Thoyyib dan ibunya Zainab binti Abdullah Shodiq memberikan nama kepadanya dengan nama Muhammad Ali al-Mukarrom. Ketika masih kecil, Ali menjadi saudara susuan kepada salah satu keluarga ‘Alawiyin bangsa al-Habsyi di pesantren al-Riyadh dan keluarga Bin Syahab di kampung Muaro 10 Ilir Palembang. Sudah menjadi tradisi, saat itu banyak kalangan pribumi yang ingin mendapatkan berkah dari ikatan persaudaaraan mereka dengan keturunan Nabi. Ali kecil mendapatkan berkah persaudaraan dengan keluarga habaib yang kemudian membuatnya memiliki hubungan istimewa dengan seluruh kalangan Alawiyin kota Palembang.

Berkah Habib
K.H. Ali Umar Thoyyib memulai pendidikan formalnya di Madrasah Al Khoiriyah 3 Ilir Palembang. Ia juga kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Palembang. Tahun 1970, ia mulai menjalani pendidikan agamanya di Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah Malang di bawah asuhan Habib ‘Abdullah Bin Abdul Qadir Bin Ahmad Bil Faqih. Dari habib Abdullah Bilaqih, ia mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman spiritual. Salah satunya adalah silsilah tarekat ‘Alawiyah yang bersambung langsung kepada Nabi Muhammad SAW.

Tahun 1975 Ali Umar Thoyyib kembali ke kota Palembang dan mulai mengajar di Pesantren al-Riyadh Palembang sampai tahun 1983. Di sinilah ia mulai mengajar dan mengembangkan ilmu yang diperolehnya dari tanah Jawa. Di sini pulalah, bersama Habib Ahmad al-Habsyi, ia membimbing para murid dan santrinya. Di antara nama-nama yang saat ini cukup akrab di telinga kita adalah Habib Noufal bin Abdullah al-Kaf (Sukabumi), Habib Umar Abdul Aziz bin Syahab (Palembang) dan Habib Naqib bin Muhamamd bin Syekh Abubakar (Bekasi). Semuanya adalah pimpinan di pondok pesantrennya masing-masing. Selain mereka, tentu saja ada banyak nama yang tidak bisa kita sebutkan satu persatu. Mereka tersebar di seluruh wilayah Sumatera bahkan sampai ke Malaysia dan Tailan.
Tahun 1984, ia diberikan kepercayaan untuk mengelola dan memimpin sebuah sekolah yang bernama Madrasah Diniyah Awwaliyah Darul Muttaqin di bilangan 8 ilir Palembang. Di sekolah inilah, ratusan siswa dan murid di kota Palembang mengenyam pendidikan keagamaan darinya. Saat itu, Madrasah Diniyah Darul Muttaqien sudah mampu memberikan pendidikan keagamaan yang setara dengan kurikulum pesantren. Tidak heran, sekalipun banyak santri dan muridnya pada saat yang sama juga bersekolah di SD ataupun SMP, tetapi mereka sangat antusias belajar ilmu-ilmu keislamanan seperti nahwu-shorof, hadis, akidah-akhlak, dan sejarah Islam.
Pada tahun ini juga atas perintah Habib Alwi bin Ahmad Bahsin Palembang, guru dan pembimbing spiritualnya, ia diserahi tugas untuk berdakwah kepada masyarakat luas. Maka, untuk mewadahi dakwahnya di tengah masyarakat itulah akhirnya dibuatlah Majelis Taklim Awwabien. Dari sinilah ia mulai mengajak masyarakat untuk membaca Ratib al-Haddad.

Berguru Kepada Habaib
K.H Ali Umar Thoyyib selalu menyempatkan diri untuk mengambil berkah kepada para habaib yang hidup di masanya. Tercatat ada banyak habaib yang menjadi tempat ia berguru dan menimba ilmu, seperti Habib Abdullah bilfaqih (Malang); Habib Alwi bin Ahmad Bahsin (Palembang); Habib Muhsin Al-Atthas (Jakarta); Kyai Haji Buya Yahya Azhari (Bandung); di sini ia mendapatkan khirqah dan silsilah tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah; dan Kiayi Bahri Bin Pandak – Tanjung Atap, Palembang.
Selain mereka, KH Ali Umar Thoyyib juga sempat bertabarruk kepada para ulama seperti Habib Muhammad bin Alwi Al-Maliki (Makkah); Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul); Habib Ahmad bin Abdullah Al-Atthas; Habib Ali bin Husin Al-Atthas dan Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan).

Warisan tiga kitab
Dakwah yang ia berikan kepada masyarakat tidak saja dilakukan di masjid, tapi juga di dalam ruangan kelas di sekolah ia yang kelola. Paling tidak selama satu minggu, ia tiga kali memberikan pelajaran  keagamaan kepada masyarakat. Ada tiga kitab yang ia pakai, yaitu Risalah al-Mu’awanah karangan habib Abdulah al-Haddad, Hidayat al-Salikin karangan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani dan Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali.
Dalam memberikan penjabarannya kepada masyarakat, ia selalu menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana disertai tamsil dan ungkapan yang ringan. Ia juga tidak segan mengkritik tingkah laku masyarakat dengan guyon dan gurauannya. Apalagi ketika ia membuat rangkuman isi kitab kuning yang dipelajari dalam bentuk skema atau bagan, membuat orang yang belajar kepadanya menjadi lebih faham dan mengerti. Karena itulah, lambat laun pengajian malam nya dipenuhi oleh mereka yang haus untuk menimba ilmu kepadanya
Rangkuman tiga kitab itulah yang kemudian ia bukukan menjadi satu buku dalam Tuhfat al-Awwabin min kutubi al-salaf al-sholihin. Dengan memuat hampir 150 halaman, rangkuman tiga kitab itu seolah menjadi satu-satunya warisan intelektual yang sangat istimewa dari diri KH Ali Umar Thoyyib.

Menyebarkan Doa
Salah satu dakwah KH Ali Umar Thoyyib juga dilakukan dengan cara menyebarkan selebaran doa. Biasanya doa-doa yang ia ambil dari kitab para ulama terdahulu itu bersisi wirid dan zikir-zikir pilihan. Kadang ia juga menuliskan doa itu dengan bahasa Indonesia untuk lebih mudah dibaca masyarakat. Ia sendiri yang membiayai foto copy doa itu.
Dakwah sepert ini ternyata sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dari mereka yang tidak pernah beramal, kini menjadi muslim yang selalu menyiapkan waktunya untuk membaca zikir dan wirid. Dalam satu harapannya, ia ingin masyarakat itu sadar akan pentingnya beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan istiqomah. Dakwah inilah yang seolah-olah menjadi amal jariah untuk KH. Ali Umar Toyyib. Setiap hari, surat al-Fatihah serta doa yasin dan tahlil dibacakan oleh hampir semua murid dan pencintanya.
Ia meninggal dan dikuburkan di pemakaman umum Kandang Kawat, Palembang. Ribuan orang menyemut turut mengambil berkah terakhir. Ungkapan belasungkawa disampaikan oleh kerabat dan kalangan pajabat. Kini, tidak ada lagi guru dan orang tua yang selalu mengayomi dan menyayangi. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar