Sabtu, 06 Oktober 2012


MULTIKULTURALISME DAN
UNIVERSALITAS AJARAN ISLAM
Dari Budaya Rahmat ke Arah Dunia Rahmat

Dr. Muhammad Noupal *[1]

Pendahuluan

SETIDAKNYA ada dua tujuan pokok yang saya inginkan dari judul makalah ini; pertama, saya ingin membandingkan bagaimana pokok soal yang ada dalam istilah ‘multikulturalisme’ dan hubungannya dengan ajaran Islam yang universal; dan kedua, saya sangat ingin membawa akhir tulisan ini pada satu pemahaman umum yang saya anggap penting karena menurut saya di situlah kata kunci dari seminar kita. Intinya, saya ingin mengarahkan pemahaman bahwa kita sangat mendambakan suatu “dunia rahmat”.

Untuk sampai pada tujuan tersebut, tentu saja saya harus menjelaskan bagian-bagian penting seputar arti dan maksud dari multikulturalisme dan univeralitas ajaran Islam. Hal ini menjadi perlu mengingat pemahaman kita tentang dua kata kunci ini juga mungkin tidak sama, untuk tidak menyebutnya berbeda. Tetapi karena fokus tulisan ini lebih untuk mengkaji bagaimana hubungan antara keduanya, maka konsep-konsep teoritis seputar istilah “multikulturalisme” itu sendiri tidak akan saya detailkan. Untuk memahaminya, saya hanya akan menjelaskan sangat sedikit beberapa hal yang saya anggap penting.

Sedikit Tentang Multikulturalisme

Penelusuran saya terhadap istilah ini sampai pada satu kesimpulan bahwa multikulturalisme itu tidak lain adalah menganggap segala sesuatu yang berbeda itu tidak perlu dibeda-bedakan; walaupun juga tidak harus disama-samakan. Setiap orang, kelompok atau masyarakat tidak harus melakukan pembedaan, baik dalam urusan agama, budaya dan asal-usulnya, dengan agama, budaya dan asal-usul orang lain. Tapi pada saat yang sama juga, orang tidak harus menyamakan urusan agamanya, budaya dan asal-usulnya dengan orang lain.

Pemahaman ini saya ambil berdasarkan konsep dasar multikulturalisme itu sendiri yang menitikberatkan kepada keragaman, bukan keseragaman. Memang kajian istilah ini muncul karena kaitannya dengan budaya (culture); dan karena itu pula, persoalan budaya (dengan segala macam kaitannya) yang berkembang dalam masyarakat dengan sangat banyak (multi) tidak perlu dipertentangkan. Pada intinya, konsep multikulturalisme yang berupa pemikiran dan pandangan (isme) dapat melahirkan sikap multikultural. Istilah terakhir ini saya fahamkan dengan sikap menghargai dan menghormati budaya (dan agama) orang lain serta tidak menganggapnya lebih rendah dari budaya kita.

Saya perlu memberikan beberapa contoh defenisi istilah ini dari beberapa sumber yang saya dapatkan untuk membenarkan pemahaman saya tadi.

Pertama, mengantari buku Pendidikan Multikultural; Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Amin Abdullah menyebutkan bahwa wacana multikultural berupaya untuk memahami perbedaan yang ada pada manusia, serta bagaimana agar perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka. Kedua, Lawrence Blum, dikutip Lubis dalam Dekonstruksi Epistemologi Modern, juga mengatakan bahwa multikulturalisme adalah suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Dan ketiga, Supardi Suparlan dalam tulisannya Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural juga mengkaitkan multikulturalisme dengan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Wacana teoritis tentang multikulturalisme ini setidaknya berujung pada satu sikap yaitu menghargai perbedaan budaya dan menganggapnya sederajat dengan budaya sendiri. Singkatnya, multikulturalisme hendak menggiring pemahaman bahwa kita perlu sikap saling menghargai—sebagai hasil dari pengetahuan dan sikap menerima—budaya lain sehingga kita tidak merasa bahwa budaya kita lebih unggul atau lebih baik. Dari sini juga multikulturalisme diharapkan mampu mewujudkan perdamaian, keadilan dan persaudaraan sosial, anti konflik, kekerasan dan tindak diskriminatif.

Dari asas ini, para ahli selalu mengkaitkan aspek praktis multikulturalisme dengan pendidikan multikultural. Istilah terakhir ini selalu dikedepankan sebagai bukti bahwa multikulturalisme tanpa pendidikan multikultural akan susah diterapkan. Dari sini juga diperlukan suatu kurikulum plus pendekatan dan metode pendidikan yang bisa disepakati agar pendidikan multikultrual bisa diterapkan. Kaitan dengan kasus ini, Amin Abdullah melihat bahwa studi agama dengan pendekatan multidimensional bisa menjadi salah satu alternatif dalam menerapkan pendidikan multikultural.

Pada akhirnya, persoalan multikulturalisme membutuhkan sikap multikultural yang bisa diwujudkan dengan pendidikan multikultural. Sederhananya, pendidikan multikultural mengarah kepada pendidikan saling menghargai dan menghormati budaya, etnis dan agama yang ada dalam masyarakat baik di tingkat local, nasional atau global. Selain menciptakan kerukunan hidup beragama dan berbangsa, tujuan pendidikan ini juga diharapkan mampu meredam sikap diskriminatif dan potensi konflik yang ada dalam masyarakat.

Multikulturalisme Dalam Beragama

Biasanya, kaitan agama dan faham multikulturalisme selalu dialasi karena adanya konflik keagamaan. Konflik ini, sekalipun sudah kita ketahui contohnya, dilakukan atas nama agama; walaupun sebenarnya saya ingin mengatakannya atas nama Tuhan. Konflik yang terus menerus terjadi ketika pemahaman keagamaan saling dipertentangkan, kadang berwujud dalam bentuk tindakan anarkis dan radikal. Karena itu pula, agama (terutama bagaimana peranan yang dijalankan para pemuka agama) diharapkan mampu meminimalisir potensi-potensi konflik dengan mengedepankan pemahaman dan sikap multikultural.

Sikap multikultural dan pendidikan multikultural karena itu menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam wilayah praksis agama. Dari sini, kita memulainya dengan penyamaan konsep bahwa agama pada hakikatnya berfungsi untuk memberikan kebaikan dan kedamaian, bukan keburukan dan permusuhan. Dus, karena itu kita harus sepakat bahwa tindakan yang mengarah kepada keburukan dan permusuhan, apapun tujuannya, sangat ditentang agama. Pada poin ini, saya melihat bahwa semua agama mengajarkan nilai-nilai positif kepada pemeluknya. Dalam hubungannya dengan sikap multikultural, pengajaran nilai-nilai positif seperti inilah yang menjadi bagian penting untuk diterapkan terutama melalui sistem pengajaran dan dakwah umat. Saya menyebutnya dengan “dakwah positif”.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, dakwah positif sangat perlu dikembangkan melalui penyuluhan/pengajaran agama atau majelis taklim. Untuk meminimalisir konflik antar agama dan bahkan dalam satu agama sekalipun, dakwah positif mengarahkan pemahaman manusia bahwa mengajarkan kebaikan itu—sebagai langkah praktis sikap multikultural—ternyata lebih bermanfaat dari pada mengajarkan permusuhan.

Berkaitan dengan tema seminar ini, saya menyebut dakwah positif itu dengan nilai-nilai universal agama, yang dapat kita spesifikasikan dalam nilai keadilan, perdamaian, ajakan berbuat baik, kesetaraan, kejujuran dan sebagainya. Sederhananya, setiap agama (khususnya Islam) mengedepankan nilai-nilai multikulturalisme bukan hanya dalam konsep sosiologis tapi juga teologis. Bahwa melaksanakan keadilan, kejujuran atau perdamaian bagi umat manusia adalah salah satu bentuk dari ibadah kepada Tuhan. Sekali lagi, agama bukanlah halangan untuk menerapkan nilai-nilai multikulturalisme. Bahkan setiap umat beragama tidak perlu merasa berat untuk mengusung dan mengembangkan multikulturalisme baik secara teoritis maupun praktis di tengah-tengah masyarakat.

Multikulturalisme dan Universalitas Ajaran Islam

Bagian terpenting dalam tulisan ini akan saya usahakan dengan cara menjelaskan universalitas ajaran Islam seperti yang dapat kita lihat dalam ranah konsep multikulturalisme. Islam, seperti yang saya ketahui, memberikan pandangan positif tentang konsep ini sekaligus menyajikan metodologinya seperti yang ada dalam al-Quran dan Hadis.

Universalitas ajaran Islam saya awali dengan pemerian prinsip-prinsip teologis-sosial. Pertama, Islam menawarkan suatu konsep masyarakat lintas negara, etnis dan kultur melalui kata ummat. Istilah ini mengidentikkan suatu ikatan kebersamaan dalam masyarakat yang ternyata mampu menghapus fanatisme suku (ashabiyah) dan kelompok. Konsep ummat karena itu juga tidak berlaku untuk waktu dan lokasi tertentu tetapi melintasi batas etnis, budaya, suku bangsa dan Negara. Al-Quran sendiri menggunakan konsep ini dalam bentuknya yang praktis. Ajakan untuk mengajak kebaikan (yad’una ilal khoir) dan memerintah dengan cara baik (ya`muruna bil ma’ruf) yang selalu melekat dalam kata ummat (QS. Ali Imron; 104) menunjukkan sisi sosial konsep ini. Umat Islam, dimana saja dan kapan saja, karena itu memiliki kewajiban sosial yang bersifat positif; yaitu mengajak seluruh manusia berbuat baik dengan cara yang baik.  Selanjutnya, kita boleh mengatakan bahwa ajakan berbuat baik dengan cara yang baik itu bukan kewajiban umat Islam saja, tapi kewajiban semua manusia. Kita bisa mengistilahkannya dengan “kewajiban multikultural”.

Kedua, dan mungkin ini bisa menjadi rujukan, tawaran Islam dalam konsep multikulturalisme dapat kita buktikan dari semangat penghargaan kepada manusia berdasarkan sifat dan nilai-nilai ketuhanan, bukan kemanusiaan. Setiap manusia yang paling bertakwa, dan pasti secara praktis dibuktikan dengan penyerapan sifat dan nilai ketuhanan, adalah manusia yang paling mulia. Penyerapan seperti inilah yang insya Allah mampu menghilangkan sifat dan nilai kemanusiaan yang etnosentris dan tribalis. Patut kita contohkan, dalam khutbah di Arafah, Nabi Muhammad menegaskan bahwa tidak ada keutamaan yang dimiliki orang Arab atas non Arab, tidak juga orang kulit putih atas hitam. Padahal seperti yang kita ketahui, Nabi sendiri adalah orang Arab dan berkulit putih.

Ketiga, tawaran terhadap prinsip keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (al-qisth), diajukan Islam dalam kerangka yang jelas. Pelaksanaan bahkan keputusan yang berdasarkan keadilan adalah perintah Tuhan dan karena itu bersifat wajib (fardhu). Tuhan menyuruh manusia untuk berlaku adil dan menegaskan bahwa di dalamnya ada nilai-nilai ketakwaan kepada Tuhan (QS. Al-Maidah; 8). Dalam kaitan dengan sikap multikultural, berlaku adil terutama dalam aktifitas sosial di tengah-tengah masyarakat (bahkan lintas agama dan budaya) merupakan wujud dari ketakwaan umat Islam kepada Allah. Di sini kita melihat bahwa prinsip keadilan sosial memiliki kerangka teologis. Kita bisa mencontohkan bagaimana Nabi melarang pasukannya membunuh anak-anak dan para wanita dalam suatu peperangan. Juga bagaimana Umar mengembalikan tanah milik orang Yahudi yang pernah diambil oleh salah seorang penguasa daerah. Berlaku adil karena itu merupakan salah satu ciri ketakwaan kepada Tuhan.

Keempat; prinsip toleransi sesama manusia yang menjadi acuan utama dari sikap multikultural, juga disaranai Islam dalam konsep dan metode yang jelas. Dari sudut agama, kita bisa melihat bahwa Islam sangat menghormati keberadaan agama lain dan hak-hak manusia untuk beragama. Al-Quran melarang pemaksaan agama (la ikraha fid-din); setiap dakwah agama harus dilakukan dengan cara yang santun (hikmah/mau’izhoh-hasanah); bahkan setiap pelaksanaan ibadah tidak boleh dicampurkan satu sama lain (lakum dinukum wa liya din). Pandangan ini membuktikan bahwa—untuk ukuran saat itu—asas toleransi beragama yang diberikan Islam lebih bersifat terbuka (inklusif). Saya sendiri menyebutnya “etis” dengan alasan bahwa inilah salah satu bentuk dari prinsip rahmatan lil alamin yang dibawa Islam.

Dari sudut budaya, prinsip toleransi Islam juga dikedepankan dalam kerangka etika dan moral. Islam tidak mengekang budi dan daya seseorang selagi tidak menyalahi etika agama. Islam mentolerir setiap bentuk seni yang tidak mengarah kepada pemujaan setan. Islam juga mentolerir penggunaan alat-alat kesenian selagi tidak melalaikan kewajiban kepada Tuhan. Toleransi seperti ini, menurut saya, bertujuan untuk menempatkan tindakan dan perilaku budaya manusia selalu berada dalam nilai ketuhanan; yang sebenarnya dilawankan dengan nilai kesetanan yang menjadi musuh Tuhan. Islam dengan sikap seperti ini prinsipnya tidak memandang kaku malah memandang hormat semua budaya dan laku manusia.

Ada banyak hal yang tidak bisa disebutkan satu persatu terkait bagaimana pandangan Islam dalam konsep multikulturalisme. Dalam makalah ini, saya hanya perlu menegaskan bahwa Islam sangat menghargai dan memuliakan budaya manusia. Pandangan positif (husnu zhon) terhadap tingkah laku manusia bahkan menjadi landasan etika dan moral. Karena itu, dalam hubungannya dengan sesama manusia (hablun minan-nas) Islam mengutamakan sikap positif; bukan negatif. Saya menyebut sikap ini sebagai budaya rahmat.

Dari Budaya Rahmat Ke Arah Dunia Rahmat

Arah yang sebenarnya saya tuju dalam tulisan ini adalah dunia rahmat; dunia yang dilandasi sikap saling menghargai antar sesama manusia khususnya dalam perbedaan urusan agama, budaya dan etnis. Dunia rahmat karena itu adalah dunia yang ideal; dunia yang meletakkan manusia dalam prinsip keadilan, kebersamaan dan keberagaman.

Islam, sebagai agama rahmat, tentu tidak mengajak manusia berada dalam alam idea semata. Islam mengajarkan umatnya untuk turun dan selalu berada di antara masyarakat. Ajakan “membumi” menjadikan Islam sebagai agama yang peduli kepada manusia. Islam karena itu berusaha untuk menciptakan suatu dunia yang dilandasi dengan sikap saling mengajak kepada kebaikan dan menghindari perpecahan perselisihan (QS. Ali Imron; 104-5). Saya menyebutnya sebagai ajakan untuk menciptakan dunia rahmat; dunia multikultural.

Dunia rahmat dengan begitu adalah dunia global; dunia yang bisa diwujudkan oleh siapa saja dan di mana saja. Dalam tawaran Islam, ajakan berbuat baik malah bisa dilakukan dengan menerapkan etika sosial, kepada muslim atau non-muslim. Ali, sepupu Nabi, pernah mengantar seorang Yahudi yang menjadi teman musafirnya ke luar melewati kota Madinah tanpa memberitahukan bahwa ia sendiri tinggal di Madinah. Al-Ghazali, juga pernah memperingatkan kita untuk tidak su’uzzhon kepada non-muslim, karena bisa saja suatu saat mereka akan mendapatkan hidayah dan kita sendiri malah menjadi kufur.

Di samping itu, menghindari perselisihan dan pertikaian sesama manusia bisa diwujudkan dengan tidak saling mengolok atau menghina praktek ibadah masing-masing. Di negara kita, perbedaan keyakinan antara Islam dan non-Islam, atau perbedaan pemahaman antara kaum tradisional dan modern, Sunni dan Syiah tidak perlu menjadi konflik horizontal. Pertikaian seperti ini bisa kita hindari jika konsep li ta’arofu yang ada dalam al-Quran kita fahami dalam bentuk saling mengkaji dan mempelajari. Dalam batas pemahaman saya, konflik yang biasanya terjadi di akar rumput, disebabkan karena pemahaman atau bahkan proses pemahaman akan perbedaan tidak berjalan maksimal. Di sinilah perlunya peran serta pemuka agama yang seharusnya mampu mengambil sikap seimbang (awsath) dan menyeimbangkan pemikiran masyarakat untuk menghindari terjadinya konflik horizontal secara luas.

Ajakan berbuat baik dan ajakan untuk menghindari pertikaian karena itu perlu kita terapkan dari sekarang. Dimulai dari diri sendiri dengan cara memiliki prinsip rahmat; lalu membentuk diri dengan sikap rahmat; yang kemudian bisa menjadi budaya rahmat, hingga insya Allah mewujud dalam dunia rahmat. Mudah-mudahan.

Dr. Muhammad Noupal, MA
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang
Alamat : Jl. Punai II No. 62 Rt. 26 Kel. Duku - Palembang
Hp. 0858 4053 7123 / 0813 69 1956 69


[1]d[1]d Disampaikan pada seminar
“Agama Dan Multikulturalisme Dalam Kearifan Humanis”
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
IAIN Raden Fatah Palembang, 27 September 2012

Minggu, 02 September 2012

selamat hari raya


IDUL FITRI MEMERDEKAKAN MANUSIA

                        Oleh : Dr. Muhammad Noupal, MA                 
Dosen IAIN Palembang

Pada bulan ini, kita dihadapkan pada dua kejadian penting; pertama, hari Kemerdekaan bangsa Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, dan kedua, hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal. Kalau yang pertama biasanya kita hubungkan dengan semangat nasionalisme, maka yang kedua kita hubungkan dengan semangat spiritualisme.

Ada baiknya jika kita melihat kedua moment yang sangat penting ini dalam satu kesatuan yang integral. Maksudnya, hari Kemerdekaan RI dan hari raya Idul Fitri itu memiliki nilai yang sama; yaitu sama-sama menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hari Kemerdekaan RI menjadikan bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan dan penindasan. Sedangkan hari raya Idul Fitri juga menjadikan umat Islam keluar dari tipu daya setan dan hawa nafsu yang menyesatkan. Dengan kata lain, keduanya sama-sama memerdekakan dan melepaskan belenggu yang mengikat erat jiwa raga kita.

Arti Memerdekakan
Merdeka, dalam bahasa sehari-hari sering kita artikan dengan ‘bebas’ atau ‘lepas’. Teriakan “merdeka” kita maksudkan dengan teriakan yang menyatakan bahwa kita sudah bebas dan terlepas dari penjajah. Dalam bahasa Arab, kata “merdeka” disebut dengan istilah istiqlal. Masjid Istiqlal, yang menjadi kebanggaan bangsa kita, dibangun sebagai implementasi dan bentuk dari hak kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dalam sejarah bangsa kita, proklamasi kemerdekaan yang dibaca pada tahun 1945, adalah bentuk pernyataan dan sikap semua bangsa. Ia bukan pernyataan satu atau dua orang; juga bukan pernyataan suatu daerah tertentu, tapi pernyataan semua bangsa. Karena itulah arti kemerdekaan yang kita maksudkan sendiri adalah kemerdekaan bersama; kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia.

Merdeka, juga berarti berdaulat. Tidak ada satu bangsa pun yang boleh mengusik, mencampuri dan mengatur kehidupan bangsa kita. Sebagai bangsa yang merdeka, kita memiliki hak dan derajat yang sama dengan bangsa lain. Kita tidak boleh direndahkan dan disepelekan. Setiap usaha untuk mengatur dan mencampuri kehidupan bangsa kita, harus disingkirkan.

Tapi sebagai bangsa yang merdeka, kita juga harus memandang bangsa lain tidak berbeda dengan kita. Kita tidak boleh memandang rendah bangsa Malaysia, Australia atau Amerika. Kita juga tidak boleh mengintimidasi dan mengatur kehidupan bangsa lain. Usaha seperti ini hanya akan menciptakan ketidakharmonisan antar bangsa. Ujungnya, akan tercipta permusuhan dan pertengkaran yang hanya merusak tatanan hidup semua manusia.

Sebagai agama yang menjamin dan menghargai hak kemerdekaan semua manusia, Islam memiliki prinsip luhur yang mengedepankan konsep rahmatan lil’alamin. Konsep ini dapat berarti bahwa Islam tidak pernah menganjurkan penjajahan, penindasan dan kezaliman. Islam malah mewajibkan dan menganggap sebagai ibadah semua bentuk penghargaan akan hak-hak azazi manusia.

Ajaran Islam yang rahmat, mengatur bahwa semua derajat manusia adalah sama. Nabi memberi isyarat bahwa tidak ada keistimewaan yang dimiliki bangsa Arab atas bangsa lain. Tidak ada keistimewaan orang putih atas orang hitam. Semua manusia adalah sama. yang berbeda hanyalah ibadahnya. Inna akromakum ‘indallahi atqokum; sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah”.

Di sini kita bisa melihat bahwa konsep rahmatan lil alamin yang selalu diproklamasikan al-Quran merupakan suatu konsep yang luhur. Sebagai bagian dari masyarakat, orang Islam harus bisa memberikan manfaat kepada orang Islam lain. Bahkan, orang Islam harus bisa memberikan manfaat kepada semua manusia. Adanya asas manfaat ini pernah disinggung oleh Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk kebaikan; “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”.  Dengan kata lain, manusia yang baik adalah manusia yang mampu memberikan nilai positif kepada manusia lain. Nilai positif inilah yang terangkum dalam nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) yang dijunjung tinggi dalam konsep kemerdekaan.

Jadi, Islam sebagai agama, menjamin hak kemerdekaan semua manusia. Islam tidak memaksa umat agama lain untuk masuk dan memeluk agama Islam. Islam juga tidak memaksakan konsep dan ajarannya untuk dilakukan oleh semua manusia. Islam menjunjung tinggi konsep solidaritas al-ukhuwwah al-insaniyah yaitu konsep yang memandang bahwa semua manusia adalah bersaudara.

Fitrah dan Kemerdekaan
Hari raya idul fitri adalah simbol kemerdekaan umat Islam. Setelah satu bulan berpuasa dan menahan hawa nafsu, umat Islam merayakan kemerdekaannya dengan cara bertakbir dan memuji Allah. Pada hari raya ini juga, umat Islam tidak henti-hentinya membesarkan dan mengagungkan Allah; Tuhan yang memberikan kemerdekaan.

Pengagungan kepada Tuhan mutlak dilakukan terutama sebagai wujud syukur manusia kepada Tuhan. Bahwa Tuhanlah yang memberikan kemerdekaan harus kita fahami bahwa karena rahmat-Nya lah kita memperoleh kemerdekaan. Pada konsep ini, manusia seharusnya tidak boleh lupa dengan perintah Tuhan, sehingga akhirnya melakukan perbuatan yang justru berbeda dengan arti kemerdekaan.

Sebagai hari raya umat Islam, Idul Fitri justru mengembalikan manusia kepada fitrahnya; yaitu manusia yang bersih dan suci. Kesucian yang dimaksud tentu saja adalah kesucian dari sifat dan perilaku yang kotor. Jiwa yang fitrah adalah jiwa yang menghargai kebaikan. Dalam kaitannya dengan kemerdekaan, jiwa yang fitrah adalah jiwa yang tidak memandang rendah manusia lain. Jiwa inilah yang membentuk sikap dan perilaku manusia yang baik (akhlak mahmudah).

Pada kasus ini kita menemukan hubungannya dengan tiga konsep utama perilaku baik. Diawali dari konsep takhalli; yaitu membuang semua sifat buruk yang ada dalam diri manusia. Dalam ibadah puasa, proses ini kita lakukan dengan cara menahan hawa nafsu dan amarah; seperti tidak bohong atau tidak melakukan ghibah. Proses selanjutnya adalah tahalli; yaitu mengisi dan membentuk jiwa dengan sifat dan perbuatan baik. Dalam ibadah puasa, proses ini juga kita lakukan dengan cara membiasakan sifat jujur atau husnu zhon. Dan terakhir adalah proses tajalli; yaitu memandang keagungan dan kebesaran Tuhan. Pada waktu hari raya, proses ini juga lah yang kita lakukan dengan takbir dan tahmid.

Dengan demikian, merayakan hari kemerdekaan dan hari raya seharusnya diiringi dengan perbuatan baik dan sikap pengagungan kepada Tuhan. Sebab, dari Tuhan-lah nikmat dan rahmat kemerdekaan itu bisa kita rasakan sampai hari ini. Mudah-mudahan dengan sikap ini kita bisa merasakan kemerdekaan kita sebagai manusia yang rahmatan lil ‘alamin.

Senin, 06 Agustus 2012


OBAT HATI
Oleh : KH. Ali Umar Thoyyib

Ada baiknya saat ini kita sudah menyadari bahwa selain kesenangan materi, kita juga memerlukan kebahagiaan batin. Kita tidak bisa menyandarkan semua aspek hidup kita kepada materi dan benda belaka. Apalagi jika kita mempunyai pandangan dan pemikiran yang materialistik, maka aspek batiniyah hidup kita pasti akan hilang. Ibarat gelas, jiwa kita akan kosong dari air kebahagiaan yang hakiki.

Kebahagiaan batin tentu saja susah kita jelaskan. Ia adalah persoalan jiwa dan perasaan. Kebahagiaan batin tidak bisa kita tentukan dengan harta dan kekayaan. Apalagi kalau kita ukur melalui derajat sosial serta kedudukan. Kebahagiaan batin hanya bisa dilihat dari dalam hati; sebab hatilah tempat sesungguhnya. Hatilah yang menjadi tolak ukur untuk kita mengatakan apakah kita bahagia atau tidak.

Kalau kita sedang sedih, maka kita cenderung mengatakan bahwa kita sedang tidak bahagia. Tapi kalau hati sedang gembira, maka kita juga mengatakan bahwa kita sedang bahagia. Di sinilah posisi hati menjadi sangat penting, bahkan luar biasa pentingnya. Ia adalah ‘jiwa’ kita. Ia juga ‘obat’ kita.

Dalam pandangan saya, setidaknya ada lima jenis ‘obat’ hati yang diperlukan untuk mendapatkan kebahagiaan. Pertama, duduk bersama orang-orang soleh. Karena dari merekalah kita akan mendapatkan siraman ruhani. Bimbingan mereka mampu mengontrol jiwa dan perilaku kita. Dari mereka juga kita akan diingatkan kepada Tuhan. Dari orang-orang soleh inilah kita bisa belajar dan menelaah ajaran agama. Pendek kata, melalui mereka kita akan mendapatkan keberkahan dan manfaat hidup.

Kedua, membaca al-Quran. Untuk mendapatkan ‘obat’ hati dari firman Allah ini, maka kita perlu membacanya secara kontinyu. Orang yang setiap hari bahkan setiap waktu selalu membaca al-Quran, maka jiwanya pasti selalu terhubung dengan Allah. Jiwanya akan selalu mendengar kalam Allah. Melalui kontinuitas membaca al-Quran ini, maka manusia pasti akan mendapatkan bimbingan Allah. Dari bimbingan itulah ia akan merasakan bahagia. Sebab, setiap usaha dan perilaku hidupnya akan dijaga Allah swt. Selain membaca, proses tadabbur atau merenungi makna al-Quran dapat membuat jiwa kita tersentuh. Karena itulah, membaca al-Quran secara kontinyu dan merenungi maknanya akan membuat hati kita bercahaya. Hati kita akan disinari dengan petunjuk dan hidayat Allah. Itulah kebahagiaan batiniyah.

Ketiga, mengosongkan perut. Yang dimaksudkan di sini tentu saja adalah mengosongkan perut dari segala sesuatu yang haram. Ibarat wadah, perut kita tidak boleh di isi dengan makanan yang berasal atau didapat dari cara yang haram. Tetapi perut juga perlu kita kosongkan dari sesuatu yang halal. Ini diperlukan supaya jiwa kita tidak menjadi rakus atau serakah. Sekalipun makanan itu halal, tetapi perut yang terisi penuh dengan makanan, maka jiwanya akan menjadi malas. Karena itu perut yang kosong, dapat menghidupkan ruh dan jiwa kita menjadi lebih baik.

Keempat, ibadah malam (qiyamul lail). Orang yang melakukan ibadah malam, maka ia harus mengisinya dengan munajat dan solat. Munajat atau doa, perlu dilakukan sebagai bukti bahwa kita memang sangat membutuhkan Allah. Orang yang sering berdoa, terutama pada malam hari, maka jiwanya akan selalu butuh kepada Allah. Sedangkan orang yang solat malam, maka jiwanya juga juga akan membentuk kepribadian yang baik. Ibadah malam inilah yang akan mengangkat derajat manusia di dunia dan akhirat.

Kelima, merintih kepada Allah pada waktu fajar (sahur). Pada saat ini juga kita perlu mempersiapkan diri kita untuk selalu tobat dan berharap kepada Allah. Dengan tobat yang kita ucapkan pada waktu ini, kita dapat memulai aktivitas hidup kita di dunia sesuai dengan aturan Allah. Sebab, tobat dapat membuat jiwa kita menyesal dan introspeksi. Tobat dapat memperbaiki amal buruk menjadi amal baik. Selain itu juga berharap kepada Allah dapat membuat optimisme dalam hidup kita. Dengan optimisme itulah maka kita akan terbiasa disiplin dan rajin dalam bekerja. Dari situlah kita juga akan mendapatkan kebahagiaan dan cita-cita hidup.

Kelima jenis ‘obat’ hati ini akan membentuk jiwa manusia menjadi jiwa yang suci lagi mulia (al-nafs al-zakiyah). Jiwa seperti inilah yang akan memperoleh rahasia (sirr), perbaikan amal (ishlah) dan petunjuk hidayat (irsyad). Dan ketiganya itu akan membentuk dan menghasilkan cinta (mahabbah) kepada Allah swt. Jika sudah cinta, maka manusia tidak akan merasakan baik-buruk dalam hidupnya, sehat atau sakit, bahkan senang atau bahagia kecuali ia sikapi dengan hati dan iman kepada Allah. Itulah kebahagiaan yang hakiki. []

Jumat, 27 Juli 2012

guruku



KH. ALI UMAR THOYYIB (1952-2008)



Tidak ada yang menyangka bahwa nama ini adalah tokoh penting dalam penyebarluasan Ratib al-Haddad di kota empek-empek, Palembang. Majelis Taklim Al-Awwabin yang didirikannya pada tahun 1985 kini menjadi sentral pembacaan Ratib al-Haddad. Setiap malam minggu dan malam ke 14 bulan Hijriyah, ratusan kaum muslim dari berbagai penjuru kota Palembang, baik tua ataupun muda mendatangi majelisnya untuk turut berzikir dan membaca Ratib al-Haddad bersama-sama. Mereka sangat antusias dan semangat mengikuti tahap demi tahap pembacaannya yang dimulai dari jam 8 sampai jam 11 malam. Di selingi ceramah dan tausiyah oleh para ulama, acara pembacaan Ratib al-Haddad menjadi lebih istimewa dan menarik. Inilah yang membuat Malam 14-an ini semakin lama semakin digemari masyarakat kota Palembang.

Berkah Susuan
KH. Ali Umar Thoyyib dilahirkan di Palembang pada tanggal 9 November 1952. Ayahnya, Umar bin Thoyyib dan ibunya Zainab binti Abdullah Shodiq memberikan nama kepadanya dengan nama Muhammad Ali al-Mukarrom. Ketika masih kecil, Ali menjadi saudara susuan kepada salah satu keluarga ‘Alawiyin bangsa al-Habsyi di pesantren al-Riyadh dan keluarga Bin Syahab di kampung Muaro 10 Ilir Palembang. Sudah menjadi tradisi, saat itu banyak kalangan pribumi yang ingin mendapatkan berkah dari ikatan persaudaaraan mereka dengan keturunan Nabi. Ali kecil mendapatkan berkah persaudaraan dengan keluarga habaib yang kemudian membuatnya memiliki hubungan istimewa dengan seluruh kalangan Alawiyin kota Palembang.

Berkah Habib
K.H. Ali Umar Thoyyib memulai pendidikan formalnya di Madrasah Al Khoiriyah 3 Ilir Palembang. Ia juga kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Palembang. Tahun 1970, ia mulai menjalani pendidikan agamanya di Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah Malang di bawah asuhan Habib ‘Abdullah Bin Abdul Qadir Bin Ahmad Bil Faqih. Dari habib Abdullah Bilaqih, ia mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman spiritual. Salah satunya adalah silsilah tarekat ‘Alawiyah yang bersambung langsung kepada Nabi Muhammad SAW.

Tahun 1975 Ali Umar Thoyyib kembali ke kota Palembang dan mulai mengajar di Pesantren al-Riyadh Palembang sampai tahun 1983. Di sinilah ia mulai mengajar dan mengembangkan ilmu yang diperolehnya dari tanah Jawa. Di sini pulalah, bersama Habib Ahmad al-Habsyi, ia membimbing para murid dan santrinya. Di antara nama-nama yang saat ini cukup akrab di telinga kita adalah Habib Noufal bin Abdullah al-Kaf (Sukabumi), Habib Umar Abdul Aziz bin Syahab (Palembang) dan Habib Naqib bin Muhamamd bin Syekh Abubakar (Bekasi). Semuanya adalah pimpinan di pondok pesantrennya masing-masing. Selain mereka, tentu saja ada banyak nama yang tidak bisa kita sebutkan satu persatu. Mereka tersebar di seluruh wilayah Sumatera bahkan sampai ke Malaysia dan Tailan.
Tahun 1984, ia diberikan kepercayaan untuk mengelola dan memimpin sebuah sekolah yang bernama Madrasah Diniyah Awwaliyah Darul Muttaqin di bilangan 8 ilir Palembang. Di sekolah inilah, ratusan siswa dan murid di kota Palembang mengenyam pendidikan keagamaan darinya. Saat itu, Madrasah Diniyah Darul Muttaqien sudah mampu memberikan pendidikan keagamaan yang setara dengan kurikulum pesantren. Tidak heran, sekalipun banyak santri dan muridnya pada saat yang sama juga bersekolah di SD ataupun SMP, tetapi mereka sangat antusias belajar ilmu-ilmu keislamanan seperti nahwu-shorof, hadis, akidah-akhlak, dan sejarah Islam.
Pada tahun ini juga atas perintah Habib Alwi bin Ahmad Bahsin Palembang, guru dan pembimbing spiritualnya, ia diserahi tugas untuk berdakwah kepada masyarakat luas. Maka, untuk mewadahi dakwahnya di tengah masyarakat itulah akhirnya dibuatlah Majelis Taklim Awwabien. Dari sinilah ia mulai mengajak masyarakat untuk membaca Ratib al-Haddad.

Berguru Kepada Habaib
K.H Ali Umar Thoyyib selalu menyempatkan diri untuk mengambil berkah kepada para habaib yang hidup di masanya. Tercatat ada banyak habaib yang menjadi tempat ia berguru dan menimba ilmu, seperti Habib Abdullah bilfaqih (Malang); Habib Alwi bin Ahmad Bahsin (Palembang); Habib Muhsin Al-Atthas (Jakarta); Kyai Haji Buya Yahya Azhari (Bandung); di sini ia mendapatkan khirqah dan silsilah tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah; dan Kiayi Bahri Bin Pandak – Tanjung Atap, Palembang.
Selain mereka, KH Ali Umar Thoyyib juga sempat bertabarruk kepada para ulama seperti Habib Muhammad bin Alwi Al-Maliki (Makkah); Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul); Habib Ahmad bin Abdullah Al-Atthas; Habib Ali bin Husin Al-Atthas dan Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan).

Warisan tiga kitab
Dakwah yang ia berikan kepada masyarakat tidak saja dilakukan di masjid, tapi juga di dalam ruangan kelas di sekolah ia yang kelola. Paling tidak selama satu minggu, ia tiga kali memberikan pelajaran  keagamaan kepada masyarakat. Ada tiga kitab yang ia pakai, yaitu Risalah al-Mu’awanah karangan habib Abdulah al-Haddad, Hidayat al-Salikin karangan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani dan Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali.
Dalam memberikan penjabarannya kepada masyarakat, ia selalu menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana disertai tamsil dan ungkapan yang ringan. Ia juga tidak segan mengkritik tingkah laku masyarakat dengan guyon dan gurauannya. Apalagi ketika ia membuat rangkuman isi kitab kuning yang dipelajari dalam bentuk skema atau bagan, membuat orang yang belajar kepadanya menjadi lebih faham dan mengerti. Karena itulah, lambat laun pengajian malam nya dipenuhi oleh mereka yang haus untuk menimba ilmu kepadanya
Rangkuman tiga kitab itulah yang kemudian ia bukukan menjadi satu buku dalam Tuhfat al-Awwabin min kutubi al-salaf al-sholihin. Dengan memuat hampir 150 halaman, rangkuman tiga kitab itu seolah menjadi satu-satunya warisan intelektual yang sangat istimewa dari diri KH Ali Umar Thoyyib.

Menyebarkan Doa
Salah satu dakwah KH Ali Umar Thoyyib juga dilakukan dengan cara menyebarkan selebaran doa. Biasanya doa-doa yang ia ambil dari kitab para ulama terdahulu itu bersisi wirid dan zikir-zikir pilihan. Kadang ia juga menuliskan doa itu dengan bahasa Indonesia untuk lebih mudah dibaca masyarakat. Ia sendiri yang membiayai foto copy doa itu.
Dakwah sepert ini ternyata sangat bermanfaat bagi masyarakat. Dari mereka yang tidak pernah beramal, kini menjadi muslim yang selalu menyiapkan waktunya untuk membaca zikir dan wirid. Dalam satu harapannya, ia ingin masyarakat itu sadar akan pentingnya beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan istiqomah. Dakwah inilah yang seolah-olah menjadi amal jariah untuk KH. Ali Umar Toyyib. Setiap hari, surat al-Fatihah serta doa yasin dan tahlil dibacakan oleh hampir semua murid dan pencintanya.
Ia meninggal dan dikuburkan di pemakaman umum Kandang Kawat, Palembang. Ribuan orang menyemut turut mengambil berkah terakhir. Ungkapan belasungkawa disampaikan oleh kerabat dan kalangan pajabat. Kini, tidak ada lagi guru dan orang tua yang selalu mengayomi dan menyayangi. []